
Illustrasi perempuan dikucilkan (pixabay)
Panasnya hawa Kota Semarang tak lantas menghentikan laju sepeda motor yang ditunggangi Fina (bukan nama asli). Siang itu, Selasa, 21 Mei 2024 sekitar pukul 12.30, ia menembus kepadatan jalan yang membosankan.
Sebelum meninggalkan tempat kerjanya, Fina sempat membalas chat untuk janjian wawancara.
“Iya, nanti sekitar jam dua siang saya bisa mas, takutnya macet,” begitu jawab Fina saat saya hubungi melalui aplikasi WhatsApp.
Tak berselang lama, sekira 20 menit, ia kembali memberi kabar jika sudah berada di rumah. “Saya sudah di rumah mas, sudah bisa wawancara,” ucapnya.
Fina merupakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Kini ia berusia 51 tahun, satu rumah dengan putra tunggalnya. Putranya negatif HIV.
Rumah kontrakannya memang tak begitu luas, namun bersih dan sudah ia tinggali selama empat tahun.
Ia mengawali cerita saat pertama kali tubuhnya tiba-tiba lemas. Di lehernya timbul semacam benjolan.
“Waktu itu tahun 2012. Saya masih ikut suami di Papua,” katanya.
Merasakan tubuh yang melemas, ia lantas pergi ke dokter untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Saat itu, dokter mengidentifikasi ada kelenjar getah bening.
“Saya kira itu gondong di leher saya,” kata Fina menjelaskan.
Karena kondisinya, ia memutuskan untuk kembali ke tanah Jawa sendirian. Anaknya setelah lulus sekolah dasar (SD), meneruskan sekolah di Jawa dan suaminya masih di Papua.
Setibanya di Jawa, ia dirawat di sebuah Rumah Sakit (RS) di Kota Salatiga, Jawa Tengah lebih dari satu minggu.
Di RS itulah ia divonis mengidap HIV. Dengan tubuh yang belum benar-benar sehat, Fina terpaksa menerima “status” barunya.
Sepulang dari RS di Kota Salatiga, tak lama ia kembali menjalani perawatan di RS Kota Semarang.
Perasaan Fina semakin berantakan. Sewaktu opname, ia mendapat kabar jika suaminya meninggal dunia.
Keadaan tak lantas memberi pilihan kepada Fina. Ia tetap harus menjalani perawatan di RS hingga dinyatakan sehat dan boleh pulang.
Tahun 2013, ia melamar kerja di sebuah jasa cuci pakaian di Kota Semarang dan diterima.
Tak hanya mendapat pekerjaan, Fina juga boleh tinggal di tempat kerjanya.
“Waktu itu saya terus terang dengan kondisi saya. Saya bilang ke teman-teman kerja. Jika tidak mau dekat dengan saya ya gapapa,” terangnya.
Tapi, lanjutnya, alhamdulillah mereka mau menerima. Dukungan rekan kerja membuatnya semakin tangguh untuk mejalani hidup.
“Sebenarnya waktu itu yang menjauh dari saya malah dari keluarga sendiri. Tapi sekarang sudah bisa menerima,” ucap Fina.
Sempat berpindah-pindah tempat kerja, kini Fina menetap bekerja di kawasan tengah Kota Semarang, yang sudah delapan tahun ini ia jalani.
Kali ini, tidak berani terbuka kepada pemilik tempat kerja atas kondisinya, karena takut jika ia justru malah dikeluarkan.
“Karena belum semua masyarakat dapat menerima ODHA di lingkungannya,” jalasnya.
Konsumsi ARV Sehari Dua Kali
Di dalam tasnya, selalu tersedia Antiretroviral (ARV), obat untuk mengurangi resiko penularan HIV.
Fina selalu rutin mengonsumsi ARV sehari dua kali, yakni setiap pukul 07.00 dan 19.00.
“Saya selalu membawa obat di dalam tas saya. Gak mau telat minum. Saya kan kadang pulang kerja maen dulu, jadi tetap bisa minum obat,” jelasnya.
Jika sekali saja ia telat mengonsumsi ARV, maka di sekitar mulutnya muncul semacam sariawan.
Ia mendapatkan ARV secara gratis yang diambilnya di Rumah Sakit di Semarang sebulan sekali.
“Pernah dulu, kalau gak salah tahun 2022 stok ARV di Semarang kosong, tapi gak lama. Untung saja saya masih ada persediaan, jadi aman,” ungkapnya.
Kini hidup Fina semakin bahagia, pasalnya sang putra sudah menikah dan tetap tinggal bersamanya.
“Saya berharap masyarakat jangan memandang sebelah mata kepada ODHA. Mereka harus tetap dirangkul,” kata Fina.
Menurutnya, sekarang masyarakat sudah banyak yang paham tentang HIV/AIDS. “Kalau dulu memang berat, sekarang sudah banyak yang tau, menunalarnya lewat apa,” terangnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Mochamad Abdul Hakam mengatakan, jumlah ODHIV 2024 per 18 Mei 2024 sebanyak 7.252 orang.
“Ada temuan HIV baru tahun 2024, sebanyak 219 orang,” katanya.
Hakam mengaku, Pemerintah Kota Semarang selalu memfasilitasi ketersediaan Reagent untuk penemuan ODHIV baru.
“Pemkot Semarang turut membantu dalam menciptakan kondisi yang kondusif sehingga tidak ada stigma dan diskriminasi bagi ODHIV yang berdomisili di Kota Semarang,”tarangnya.
Untuk ketersediaan ARV, Hakam menyebut di Kota Semarang menipis dan di Provinsi tidak tersedia.
“Solusinya, mengajukan permintaan relokasi ke Kabupaten/Kota yang memiliki stock ARV tersebut. Misalnya, sediaan Tenovofir Lamivudin Dolutogravir/TLD di Provinsi kosong karena dari Pusat belum datang,” kata Hakam menjelaskan.
Selanjutnya, ia mengatakan, maka Kota Semarang untuk mengatasi keterbatasan stock, mengajukan permintaan relokasi ke Kabupaten Semarang dan Salatiga. (*)