Upaya pembuatan tanggul sifatnya sesaat, tidak dapat menangani dampak keseluruhan limpasan air laut.

Serat.id – Kepala Laboratorium Geodisi ITB, Heri Andreas menyebut penurunan permukaan tanah di pesisir Kota Semarang dan Kabupaten Demak lebih dari 10 centimeter per tahun. Kondisi di wilayah semarang dan demak itu juga terjadi di Jakarta.
“Dari data mengunakan teknologi INSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar yang telah divalidasi oleh teknologi GPS (Global Positioning System), Semarang-Demak selama periode 2015-2021, terdapat banyak wilayah merah yang penurunan muka tanahnya lebih dari 10 cm per tahun,” kata Heri saat webinar “Jakarta Tenggelam”, Selasa, 10 Agustus 2021 kemarin.
Heri menyebut angka kenaikan air laut di Indonesia masih tergolong kecil atau hanya 6 militer per tahun. “Kenaikan air laut ini tidak terlepas dari mencairnya es di kutub akibat dari kenaikan suhu bumi dua derajat celsius,” kata Heri menambahkan.
Ia menilai masih ada upaya manajemen risiko yang tak maksimal dalam menangani bencana pesisir. Di antaranya pembuatan tanggul, namun heri menilai itu sifatnya sesaat namun tidak dapat menangani dampak keseluruhan limpasan air laut. Sedangkan upaya menanam mangrove yang selama ini dipahami untuk menanggulangi banjir rob, padahal itu hanyalah untuk menahan abrasi.
Ia menjelaskan penanganan bencana pesisir tak seharusnya berhenti pada pembuatan tanggul dan polder saja, namun juga harus diikuti mencari air baku yang dapat menggantikan air tanah.
“Misalnya dengan mengunakan air dari waduk, pengolahan air limbah, memanen air hujan atau rain water harvesting, desalinasi, pengaturan air Daerah Aliran Sungai,” kata heri menjelaskan.
Penggunaan air waduk bisa diimbangi membuat infrastruktur air baku pengganti air tanah atau pipanisasi. Sedangkan jika memerlukan teknologi canggih bisa menggunakan pengisian air tanah buatan atau artificial recharge.
“Terakhir mengurangi atau menghentikan pengambilan air tanah, Jangan dibalik, kalau sekarang dihentikan maka sumber daya nya belum ada,” katanya.
Dosen Oseanografi ITB, Hamzah Latief, menyebut perubahan iklim membuat kenaikan suhu di berbagai negara tak merata. Dampaknya di Indonesia ini membuat badai ,curah hujan, limpasan permukaan laut, tekanan, kenaikan muka laut, La Nina dan El Nino (ENSO), Intercadal Pacifi Oscilation (IPO).
“Dari konverensi perubahan iklim ke -15 (COP 15) Desember 2009, d Indonesia tak hanya jakarta hampir seluruh Indonesia 13 persennya mengalami penderitaan seperti jakarta dari sisi sensivitas. Namun dari resiko kota yang di pesisir yang paling tinggi,” ujar Hamzah
Ia menyoroti perubahan begitu cepat garis pantai Kota Semarang sejak 1990 hingga 2019 yang dinilai rusak akibat tambak yang ada belakang, sementara sabuk hijat atau green belt yang ada di depan sangat tipis
“Jadi begitu muka air naik, penetrasi gelombang ombak lebih tinggi, tanggul ini hancur, begitu cepat garis pantai ini mundur bisa sampai satu kilometer. Baik jakarta dan Jawa Tengah sama-sama bahayanya tergantung mitigasi resikonya, ” kata Hamzah menjelaskan. (*)