Serat.id – Yayasan Pantau menggelar Narrative Journalism Tour di Semarang untuk menyuarakan isu demokrasi. Acara berlangsung selama lima hari dari 15-17 Oktober 2022.
Semarang menjadi lokasi kedua gelaran tur Kelas Narasi Yayasan Pantau bekerja sama dengan George Washington University dan Kedutaan Amerika Serikat di Indonesia.
Pendiri dan penasihat Yayasan Pantau, Andreas Harsono mengatakan, pelatihan jurnalisme naratif di Semarang merupakan lokasi kedua setelah Kupang.
Penunjukkan Semarang untuk tur kelas narasi karena di kota ini terdapat politikus yang digadang-gadang menjadi calon presiden.
“Wartawan bukan saja perlu meliput calon presiden. Mereka juga harus meliput semua kandidat, dari lurah, sampai anggota parlemen, ” ujarnya
Andreas menyebut bahwa liputan demokrasi merupakan liputan yang penting dalam jurnalisme. Pasalnya berkaitan erat dengan pelayanan kepada masyarakat untuk dapat memberikan informasi bermutu kepada warga terkait calon- calon pemimpin mereka.
Pemateri dalam kelas di Semarang ini menghadirkan Janet Steele, guru besar George Washington University, dan Budi Setiyono, Redaktur Pelaksana Historia, majalah sejarah online pertama di Indonesia.
Selain itu juga dua pembicara tamu, Shinta Maharani, wartawan Tempo dan Myra Diarsi, aktivis perempuan dari Kalyanamitra. Sebuah lembaga yang fokus pada perjuangan kesetaraan gender melalui program dampingan komunitas perempuan.
Michael Quinlan, Juru Bicara dan Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta memaparkan, Amerika Serikat memiliki komitmen sama dengan Indonesia untuk melindungi kelompok rentan dengan mendukung upaya Indonesia menegakkan dan menggalakkan perlindungan bagi minoritas.
“Kami menantikan kisah-kisah menarik dari hasil pelatihan ini, dan berharap akan menginspirasi yang lain untuk melakukan hal yang sama,” ujarnya.
Menyentuh empati pembaca
Kelas Narasi di Semarang diikuti 15 peserta dari sejumlah daerah di Pulau Jawa, termasuk Cirebon, Bojonegoro, Surakarta, Magelang, Rembang, dan Yogyakarta. Selain jurnalis media umum dan pers mahasiswa, sejumlah peserta merupakan aktivis lingkungan dan kelompok minoritas.
Ayu Rikza, peserta Kelas Narasi dari Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) menyebut, kelas Jurnalisme naratif ini berbeda. Ia merasakan kelas lebih interaktif, peserta belajar dari tulisan sendiri maupun peserta lain.
“Bahan bacaan dan silabus tidak teoretik, tapi dari produk tulisan jurnalisme naratif peserta dan pemrasarana saling bedah bersama.”
Napoleon Riel, peserta dari Komunitas Umah Ramah di Cirebon menambahkan, jurnalisme naratif menjadi alternatif menyajikan tulisan untuk menyuarakan isu minoritas dengan menyentuh empati pembaca tanpa meninggalkan kode etik jurnalisme.
“Kelas ini bisa membantu penyajian riset Umah Ramah, yang sehari-hari juga berkutat dengan riset dan wawancara, menjadi lebih menarik,” ujarnya.
Yayasan Pantau telah memulai kelas-kelas Jurnalisme Narasi maupun Jurnalisme Sastrawi, sejak 2001. Materi dalam kelas ini mengikuti gerakan Tom Wolfe yang menggabungkan disiplin jurnalisme, riset dan daya pikat sastra. (*NA)