Seharusnya menjadi koreksi kebijakannya agar tak lagi mengedepankan investasi industri ekstraktif di kawasan setempat

Serat.id – Sebanyak 10 daerah yang tersebar di enam Kota atau Kabupaten di Jawa Tengah menduduki sepuluh peringkat dengan kualitas terburuk di Indonesia. Data pemeriksa udara yang yang diakses iqair.com pukul 06.00 Selasa, 25 Mei 2021, menunjukkan Purwodadi menjadi daerah yang menduduki kualitas udara terburuk di Indonesia dengan indeks kualitas udara (AQI) di angka 154.
Disusul dengan daerah lainnya yang masing-masing miliki kualitas udara 152 antara lain Kecamatan Colomadu (Karanganyar), Kecamatan Gatak (Sukoharjo), Kecamatan Grogol (Sukoharjo), Kecamatan Kartasura (Sukoharjo), Kecamatan Ngemplak (Boyolali), Surakarta. Kemudian tiga daerah lainnya miliki masing masing kualitas udara dengan skor 151 antara lain Kecamatan Baki (Sukoharjo), Kecamatan Ceper (Klaten), dan Kecamtan Cepu (Blora).
Baca juga : Polusi Udara Picu Penyakit Kanker
Koalisi Responsi Bank Indonesia Ajukan Pengaduan Pendana PLTU Batubara Baru
Indonesia Negara Paling Polutif se-Asia Tenggara
Air Visual merekomendasikan warga dari sepuluh daerah tersebut menghindari aktivitas di luar. Jika terpaksa untuk keluar rumah, maka disarankan untuk menggunakan masker yang dapat menyaring udara. Adapun untuk warga yang beraktivitas di dalam rumah untuk menutup jendela dengna tujuan menghindari udara luar yang kotor dan menyalakan pemurni udara.
Serat.id, mencoba menggunakan aplikasi pendeteksi kualitas udara lainnya yakni Plume Air Report yang juga dapat diakses melalui laman air.plumelabs.com, dengan memasukkan waktu yang serupa. Sayangnya aplikasi ini dari 10 daerah tersebut hanya empat daerah yang dapat diukur kualitas udaranya yakni Kecamatan Grogol (Sukoharjo) mencatat 124, Surakarta 121, Kecamatan Kartasura (Sukoharjo) 120 serta Purwodadi 78.
Direktur Eksekutif Walhi Jateng, Fahmi Bastian menyebut skor kualitas udara tersebut seharusnya dapat menjadi koreksi kebijakannya agar tak lagi mengedepankan investasi industri ekstraktif di kawasan setempat.
Menurut Fahmi, industri ekstraktif dapat berdampak pada berkurangnya dan bahkan menghilangnya lingkungan hijau di beberapa tempat. “Pemerintah juga harus melihat masyarakat membutuhkan lingkungan yang baik, udara yang baik dan air yang cukup,” ujar Fahmi.
Fahmi mendorong setiap Dinas Lingkungan Hidup kabupaten dan kota di Jateng memasang titik strategis pengukur kualitas udara yang dapat dipantau secara terbuka oleh masyarakat. Pasalnya, tak banyak masyarakat yang mengetahui nilai kualitas udara yang ada di wilayahnya.
Sedangkan kehadiran UU Omnibus Law dinilai dapat memperburuk lingkungan hijau. Sebab, aturan tersebut tidak lagi terdapat kewajiban untuk mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan dan aturannya diserahkan ke Pemerintah Pusat.
“Tapi memang kita akan mengkampanyekan adanya Ruang Terbuka Hijau karena ketidaannya itu menjadi faktor yang akan menyebabkan bencana lainnya seperti bencana hidrologi,” kata Fahmi menjelaskan.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (ICEL), Fajri Fadillah menyebut kualitas udara yang buruk disebabkan oleh emisi gas yang berasal dua pencemar udara, baik itu pencemar udara yang bergerak, kendaraan bermotor, maupun pencemar udara yang tak bergerak seperti pembakaran sampah, pembangkit lsitrik.
“Selain itu kualitas udara buruk bisa juga disebabkan karena kondisi metereologis seperti arah angin dan ketinggian dataran,”kata Fajri.
Fajri mendorong setiap DLH di Kabupaten dan Kota yang kualitas udaranya buruk dapat memantau secara berkala dan mencari penyebabnya. “Dari situ bisa di cek kualitas udaranya, misalkan ada kegiatan (masyarakt) di jam segitu yang membuang emisi gas dari mana saja,” ujar Fahmi. (*)