“Hasil Otsus Papua selama ini tak membuahkan apa-apa justru terdapat perampasan tanah, pembunuhan, eksploitasi alam,”

Serat.id – Aliansi Mahasiswa Papua Kota Semarang menolak otonomi khusus jilid II di Papua dengan alasan pembahasan otonomi khusus hanya ditentukan sepihak oleh Pemerintah Pusat. Para mahasiswa Papua menyebut pembahasan Otsus tanpa ada sekalipun keterlibatan perwakilan dari Papua.
“Hasil Otsus Papua selama ini tak membuahkan apa-apa justru terdapat perampasan tanah, pembunuhan, eksploitasi alam,” ujar perwakilan Aliansi Mahasiswa Papua Kota Semarang, Rafael Yelemaken, Rabu, 14 Juli 2021 kemarin.
Rafael menyebut pemerintah pusat keliru menetapakan Otsus seabagai solusi membangun kesejahteraan rakyat Papua yang isinya pemekaran provinsi. “Padahal yang diinginkan masyarakat papua ialah dapat menggelar referendum,” kata Rafael menambahakn.
Alasan referendum tersebut sudah seharusnya digelar karena sejak keputusan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang memasukkan wilayah Papua sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia digelar dengan cara tak demokratis.
Hal ini kemudian seakan membuktikan bahwa masyarakat Papua selama ini seakan telah terjajajah karena banyaknya eksploitasi alam yang ada, namun tak satupun dinikmati oleh mereka. Selain itu, Rafael juga menolak pelabelan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sebagai organisasi teroris dan meminta agar tahanan politik papua dapat dibebaskan tanpa syarat.
Ia juga meminta agar agar operasi militer dapat dihentikan, dan segera seluruh tentaradapat ditarik dari wilayah Papua. “Pemerintah juga harus buka akses jurnalis termasuk jurnalis internasional untuk dapat meliput ke Papua,” ujar Rafael menjelaskan.
Menurut dia, selama ini rakyat Papua sering menjadi korban intimdasi dan diskriminasi. Ia mencontohkan selama AMP Kota Semarang terbentuk sejak 1998 telah mengalami intimidasi berupa pembubaran diskusi, pelarangan, hingga penangkapan karena menggelar aksi protes.
“Tidak hanya di Semarang saja, namun AMP di beberapa kota yang lain mengalami nasib yang serupa,” kata Rafael menegaskan.
Pegiat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Ignatius Radhite, menyebut bangsa Papua dapat selayaknya merdeka seperti yang pernah digagas oleh Mohammad Hatta yang juga menolak memasukkan Papua sebagai bagian dalam NKRI dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan BPUPK, 11 Juni 1945.
Radhite menjelaskan bahwa eksploitasi alam yang terjadi di Papua, tak lain disebabkan sejak keluarnya UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang disahkan pada masa Soeharto. Menurutnya, Soeharto saat itu mengartikan modal asing sebagai jalan keluar untuk memecah krisis ekonomi yang menimpa Indonesia saat itu.
“Dengan undang-undang PMA maka perusahaan Freeport bisa masuk dan bertahan hingga kini dalam mengeksplroitasi berlebihan Papua,” ujar Radhite.
Radhite menilai adanya operasi militer tentara setiap tahun seakan menunjukkan Papua seperti wilayah peperangan dan menyebabkan situasi semakin mencekam. Persoalan lain juga adanya pembatasaan akses jurnalis untuk meliput ke Papua.
“Maka narasi yang ada hanya tunggal berasal dari Pemerintah Indonesia, tanpa menampilkan berita yang berimbang apa yang terjadi sebenarnya di Papua,” kata Radhite menjelaskan.
Sedangkan kondisi saat ini justru ruang kebebasan sipil masyarakat Indonesia terus menyempit. Misalnya, ketika menyuarakan pendapat di media sosial bisa dijerat dengan UU ITE, kemudian ketika menggelar aksi bisa terkena represi dan bahkan kriminalisasi.
“Bagaimana kita mau menyampaikan aspirasi kita, kalau kemudian ruang itu dibatasi bahkan sering dikriminalisasi,” katanya. (*)