“Masih dibutuhkan dana yang cukup besar untuk membantu masyarakat yang mengalami kesulitan ketika PPKM terjadi, misalnya bantuan insentif atau uang tunai,”

Serat.id – Koalisi Rakyat Bantu Rakyat (KOBAR) menilai selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang berlangsung sejak 3 Juli hingga 20 Juli 2021. KOBAR menyebut ada keluhan masyarakat yang menilai arogansi aparat keamanan ketika bertugas dan ketidakpastian insentif dari pemerintah.
“Aparat itu melakukan pembongkaran, peringatan dengan cara lama yang represif dan arogan. Padahal ini caranya tidak tepat di negara yang menganut paham demokratis dan egaliter,”ujar Mila Karmilah, perwakilan KOBAR, dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Rabu, 21 Juli 2021.
Mila mempertanyakan ketika di satu sisi kegiatan ekonomi masyarakat dibatasi, di sisi lain pemerintah justru masih membangun infrastruktur. Salah satu contoh proyek yang terbaru ialah ketika dilanjutkan proyek pembangunan di Bendungan Bener, Purworejo.
Hal tersebut terjadi setelah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengeluarkan “Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah
“Padahal masih dibutuhkan dana yang cukup besar untuk membantu masyarakat yang mengalami kesulitan ketika PPKM terjadi, misalnya bantuan insentif atau uang tunai,” ujar Mila menambahkan.
Padahal selama pemberlakuan PPKM Darurat berlangsung, masyarakat masih harus memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menurut Mila, pemerintah sejak awal tak punya kebijakan yang baik untuk menyelesaikan permasalahan Covid-19 di Indonesia. Hal ini terlihat ketika PPKM Darurat diberlakukan masyarakat masih minim akan informasi fasilitas kesehatan seperti masih adanya yang tak mampu mendapatkan oksigen dan ada juga yang sedang isolasi mandiri tidak juga mendapatkan obat-obatan.
Ia juga menemukan kasus yang terjadi pada salah satu rumah sakit di Brebes, pada 14 Juli 2021, karena krisis oksigen mereka mau tak mau menolak pasien yang membutuhkan perawatan dengan oksigen. Tak hanya itu, dalam testing dan tracing terhambat, salah satunya terjadi di Wonosobo, yang mana petugas tracing yang terpapar Covid-19 membuat tracing tak lagi berjalan.
“Di sisi lain PPKM yang bertujuan menurunkan kasus Covid-19, ternyata sebaliknya pada tanggal 15 juli masih tinggi rekornya mencapai 56.757 kasus dan keesokan harinya rekor kematian tertinggi juga terjadi dengan jumlah 1.205 orang dalam satu hari,” kata Mila menjelaskan.
Ia juga menyebut salah satu perusahaan di Semarang masih ada juga yang mengharuskan pekerjanya untuk menunjukkan hasil negatif Covid-19, meski mereka telah melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Masalahnya, beban tes tersebut tidak ditanggung oleh perusahaan, dan dibebankan pada pekerja. Padahal merujuk aturan yang ada, mestinya tidak perlu dilakukan tes, sebab kalaupun hasilnya positif ketika pekerja telah melakukan isolasi mandiri selama 14 hari maka sudah tidak termasuk pada fase menular.
Mila menjelaskan beredarnya isu dicovidkan di masyarakat dapat ditanggulangi dengan cara melakukan tes yang akurat seperti PCR ataupun tes antigen, serta keluarnya hasil tes tersebut harus ditunggu sebelum pemakaman diputuskan apakah akan menggunakan protokol Covid-19 atau tidaknya . Tak hanya itu, ada juga permasalahan lain berupa rendahnya pemahaman masyarakat tentang prosedur dan pentingnya vaksinasi Covid-19.
“Secara umum penanganan pandemi Covid-19 amburadul dan belum fokus, sehingga tingkat kepercayaan dan kewaspadaan terhadap Covid-19 akan menurun,” ujarnya. (*)