Minimnya pemahaman pekerja media tentang serikat pekerja dan manfaatnya menunjukkan bahwa penguatan literasi dan kapasitas serikat pekerja harus ditingkatkan lagi.

Serat.id – Aliansi Jurnalis Independen Kota Bengkulu menggelar penguatan kapasitas pemimpin serikat pekerja muda di tengah Pandemi Covid-19. Agenda yang difasilitasi AJI Indonesia dengan dukungan International Federation of Journalist (IFJ) itu diikuti 10 jurnalis dari berragam media di Bengkulu.
“Penguatan kapasitas tersebut bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada para pemimpin serikat muda di Bengkulu. Di antaranya mengenai kondisi perburuhan saat ini, jaringan dan mendiskusikan strategi serikat untuk mengatasi masalah,”kata Ketua AJI Bengkulu, Harry Siswoyo, saat membuka kegiatan di Adeeva Hotel and Convention, Pantai Panjang, Jum’at 3 september 2021.
Harry berharap training itu bisa memberi pencerahan akan pentingnya para jurnalis dan media di Bengkulu berserikat. “Sehingga bisa saling sokong dan bantu sesama, serta menjaga kerja-kerja terkait jurnalisme tetap hidup,” kata Harry menambahkan.
Pandemi Covid-19 berdampak signifikan bagi media dan jurnalis, termasuk di Indonesia umumnya dan Bengkulu khususnya. Bahkan menurut Harry saat situasi pekerja media terus berupaya menyampaikan informasi terkini kepada publik. Mereka juga menghadapi kondisi kerja yang semakin berisiko.
Tercatat pada tahun 2020, AJI dengan dukungan IFJ telah meneliti Serikat Media dalam Tanggapan Covid-19 di Indonesia. Studi tersebut menemukan bahwa dari 792 responden, sebanyak 83,5 persen responden melaporkan dampak ekonomi dari Pandemi. Sementara hanya 16,5 persen yang melaporkan tidak ada dampak.
Dari laporan tersebut diketahui, terjadi pemotongan biaya kontributor (53,9 persen), pemotongan gaji (24,7 persen), PHK (5,9 persen), skorsing (4,1 persen), dan lain-lain. Kondisi itu diperparah dengan minimnya Alat Pelindung Diri (APD) dan tes Covid-19 yang diberikan media kepada pekerjanya.
Di sisi lain, pada 5 Oktober 2020, pemerintah Indonesia mengesahkan Omnibus Law penciptaan lapangan kerja meski mendapat kritikan luas dari masyarakat. Undang-undang ini telah mengamandemen hingga 76 undang-undang yang ada, termasuk undang-undang perburuhan.
“Perubahan tersebut berpotensi mengurangi kesejahteraan pekerja dengan membuat pekerja lebih lemah dalam hubungan kerja. Indikasinya terlihat dari beberapa revisi pasal pengupahan, ketentuan pemutusan hubungan kerja, pemutusan hubungan kerja, persyaratan hari libur, dan kontrak kerja,”kata Harry menjelaskan.
Kedua isu penting tersebut terjadi pada tahun yang sama dan berdampak luas pada kondisi pekerja media. Dengan demikian, serikat pekerja menjadi penting, terutama ketika beberapa perusahaan media terpaksa melakukan PHK, pengurangan gaji, penundaan gaji, dan tunjangan hari raya (THR) kepada karyawannya.
Jika tidak, kapasitas serikat media di Indonesia tidak sesuai dengan harapan untuk mengatasi kondisi kerja sektor media yang tidak stabil. Beberapa serikat media ditangguhkan. Sebagian lainnya aktif namun mengalami penurunan jumlah anggota dan kader muda yang lebih sedikit.
Harry menyebut minimnya pemahaman pekerja media tentang serikat pekerja dan manfaatnya menunjukkan bahwa penguatan literasi dan kapasitas serikat pekerja harus ditingkatkan lagi. “Sosialisasi tentang serikat pekerja menjadi urgensi di tengah pandemi seperti saat ini,”katanya. (*)