DPR memangkas lima bentuk kekerasan seksual dari 11 bentuk kekerasan seksual

Serat.id – Aktivis perempuan yang tergabung dalam Forum Pengada Layanan atau FPL, menyebut masih terdapat kemunduran dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sejumlah kemunduran itu mulai kalimat menimbang serta pasal asas memasukkan iman dan takwa serta hukum acara yang tidak mencerminkan kekhususan dari kasus kekerasan seksual..
“Hingga menyeragamkan kewajiban lembaga layanan pemerintah dan masyarakat, memangkas lima bentuk kekerasan seksual dari 11 bentuk kekerasan seksual, “ kata juri bicara Forum Pengada Layanan, Nurhasanah, Jum’at, 10 Desember 2021 .
Menurut Nurhasanah sejumlah isi RUU mulai menghilangkan pasal perkosaan atau pemaksaan hubungan seksual, selain itu belum mempertimbangkan kerentanan kelompok perempuan yang mengalami kekerasan seksual seperti perempuan dengan HIV/AIDS
“Termasuk perempuan yang dilacurkan dan korban aborsi paksa, bahkan ada yang sampai bunuh diri,” kata Nurhasanah menambahkan.
Ketiadaan beberapa elemen menjadikan RUU itu dinilai tidak seperti yang dicita-citakan. Tarik ulur substansi dalam Proses pembahasan mencerminkan kapasitas DPR RI dalam memahami esensi RUU TPKS masih lemah. Hal itulah menjadikan hingga sekarang di penghujung tahun 2021, RUU TPKS tidak kunjung disahkan.
Forum Pengada Layanan mengajak masyarakat tetap mengawal proses pembahasan, agar fraksi-fraksi di DPR RI mampu mewakili suara masyarakat, khususnya korban kekerasan seksual dan pendamping korban.
“DPR juga perlu memastikan RUU TPKS tidak menggantung lama dan proses pembahasan hingga pengesahan harus dilakukan,” kata Nurhasanah menegaskan.
Ia berharap DPR RI melakukan perbaikan substansi yang mengakomodir kerentanan yang dialami oleh perempuan korban kekerasan seperti Perempuan dengan HIV/ AIDS, perempuan korban pelacuran paksa, perempuan pedesaan dan perempuan korban di kepulauan.
Termasuk mengakomodir lima bentuk Kekerasan seksual, mulai dari Perkosaan, Pemaksaan Aborsi, Pelacuran Paksa, Perbudakan seksual dan Pemaksaan perkawinan sebagai Bentuk kekerasan seksual, perlindungan untuk pendamping korban, memperbaiki hukum acara dan system layanan agar semakin berpihak terhadap korban kekerasan seksual.
“Seharusnya pemerintah juga menyiapkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang komprehensif dan mendukung pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual,” katanya. (*)