Bem Unnes sebutkan hasil surveidari 133 responden, 59 diantaranyamengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Dengan rincian 93,38 persen korban perempuan dan 6,02 korban laki-laki.

Serat.id – Badan Eksekustif Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), mendesak pengesahan Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Lembaga eksekutif mahasiswa itu juga siap berpastisipasi aktif menjadi mitra kritis dan strategis dari perancangan dan implementasi dari Peraturan itu.
“Beberapa hal yang menjadi perhatian khusus BEM KM Unnes adalah bagaimana Peraturan Mentri a quo progresif dengan struktur penanggulangan yang independen dan memegang teguh prinsip-prinsip kekhususan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anti Kekerasan Seksual BEM Km Unnes, Siti Nur Dzakiyatul Khasanah, Sabtu 16 Oktober 2021.
Menurut Siti lembaganya telah menyerahkan draf Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Tinggi, pada Kamis, 15 Oktober 2021 yang dihadiri Dirjen Dikti.
“Isi draf itu di antaranya menerapkan prinsip kerahasiaan, non diskrimasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia serta partisipasi di kampus,” kata Siti menambahkan.
Menurut Siti, dorongan Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di kampus dilatarbelakangi permasalahan perguruan tinggi justru menjadi tempat yang tidak aman dengan semakin menjamurnya kasus-kasus kekerasan seksual.
“Salah satu bukti konkret bahwa kampus menjadi tempat yang tidak ramah bagi penyintas kekerasan seksual adalah data hasil survei yang dihimpun oleh Badan Eksekutif Mahasiswa UNNES 2021,” kata Siti menegaskan.
Siti menyebut dari 133 responden, 59 diantaranya mengaku pernah mengalami kekerasan seksual dengan rincian 93,38 persen korban perempuan dan 6,02 korban laki-laki. Sedangkan paling banyak korban berstatus mahasiswa dengan 92,48 pesren disusul oleh karyawan sebanyak 4,51 persen , dosen 0,75 persen dan alumni 2,26 persen.
Di dalam survei tersebut juga termuat hasil yang menyatakan bahwa sebanyak 72,9 persen korban tidak melakukan pelaporan terhadap kasus yang dialaminya dan sisanya sudah melapor ke pihak atau lembaga yang berwenang.
Ia menyebut kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus seperti fenomena gunung es dengan jumlah kasus yang sebenarnya terjadi masih belum dapat dipastikan karena tidak banyak penyintas yang berani melapor.
Permasalahan psikologis penyintas seperti kecemasan yang ditimbulkan oleh kasus kekerasan seksual mempengaruhi dalam mengambil keputusan untuk melaporkan kasusnya atau tidak. Penyintas juga perlu mempertimbangkan biaya (cost) yang akan menyebabkan permen tersebut progresif.
“Strukstur penanganannya independen/melibatkan mahasiswa penundaan dalam pelaporan kasus kekerasan seksual ditambah belum semua pendidikan tinggi memiliki peraturan khusus untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus,” katanya. (*)