Dengan adanya pembatasan di mana-mana menjadikan pasar tenun lesu

Serat.id – Pengrajin tenun ikat di Desa Troso Kabupaten Jepara, terpaksa mengurangi tenaga kerja saat menghadapi pandemi Covid-19. Hal itu dilakukan karena penjualan ikut terdampak kebijakan pembatasan sosial, sehingga berpengaruh pada produksi salah satu kerajinan khas itu.
“Sebelum ada pandemi Covid-19, satu pengrajin tenun bisa menyerap tenaga kerja total sampai 7 ribu karyawan. Namun sekarang sudah sangat berkurang drastis. Dengan adanya pembatasan di mana-mana menjadikan pasar tenun lesu,” kata Abdul Jamal seorang pemilik usaha tenun ikat di desa Troso, dikutip dari laman dprd.jatengprov.go.id, Rabu , 2 Maret 2022.
Jamal mengaku di klaster tenun ikat di Desa Troso ada 283 pengrajin usaha tenun. Kebanyakan satu pengrajin memiliki 20 hingga 50 karyawan. Sedangkan kerajinan tenun Troso merupakan teknik memproduksi kain secara manual atau sering disebut tenun gedok.
Proses membuat kain itu memerlukan kurun waktu yang cukup panjang, berkembang menjadi tenun ikat dan tenun pakaian. Keterampilan membuat tenun ikat sudah dimiliki oleh warga Desa Troso sejak 1935 yang bermula dari tenun pancal dan kemudian pada 1946 beralih menjadi alat tenun bukan mesin (ATBM).
“Merebaknya usaha tenun di Troso menjadi tempat itu ditetapkan oleh Pemkab Jepara menjadi sebuah klaster,” kata Jamal menjelaskan.
Ia berharap pemerintah memberi pelatihan tata cara ekspor agar bisa membantu pemasaran produk tenun yang selama ini ditekuni pengrajin.
Sekretaris Komisi B DPRD Jateng, M Ngainirichadl mengatakan keberadaan para pengrajin tenun ikat di desa Troso menjadi salah satu bagian guna mendapatkan bahan masukan untuk menerbitkan Raperda tengtang tentang produk daerah.
“Raperda tersebut diharapkan setelah menjadi peraturan daerah dapat menjadi regulasi perihal pemasaran produk daerah,” kata Ngainirichadl.
Menurut dia, Perda menjadi kekuatan hukum dalam segala produk pertanian, peternakan, perikanan dan UMKM. (*)