Karya jurnalistik yang diterbitkan Metro Aceh tersebut bukan termasuk ranah pidana UU ITE.

Serat.id – Kepolisian Daerah Aceh diminta segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SPPP) terhadap kasus jurnalis Metro Aceh, Bahrul Walidin. Dorongan Penerbitan SPPP tersebut harus dilakukan mengacu karya jurnalistik yang diterbitkan Metro Aceh tersebut bukan termasuk ranah pidana UU ITE.
“Desakan ini sekaligus menolak upaya restorative justice yang ditempuh Polda Aceh dengan mengharuskan jurnalis Bahrul meminta maaf kepada pelapor. Restorative justice justru menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers karena menimpakan kesalahan pada jurnalis yang bekerja dilindungi UU 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, Jum’at, 26/11/2021.
Ade menyebut penggunaan Pasal 27 ayat 3 berisi pencemaran nama baik dalam UU ITE Jo Pasal 45 ayat (3) tidak bisa dikenakan pada karya jurnalistik yang memuat kepentingan publik. Selain itu, penyidikan terhadap Bahrul juga melanggar isi Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman kriteria implementasi UU ITE yang ditandatangani oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersama Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
“Dalam Pedoman SKB tersebut telah disebutkan, bahwa karya jurnalistik dikecualikan dalam pengenaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang menyebutkan pemberitaan di internet yang dilakukan institusi Pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis, bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE,” kata Ade menjelaskan.
Ketua Umum AJI, Sasmito, mengatakan karya jurnalistik tidak bisa dipidanakan. “Jadi kasus ini tidak layak dilanjutkan dan Polda Aceh harus menerbitkan SPPP, bukan malah meminta maaf kepada pelapor,” kata Sasmito.
Menurut Sasmito Polda Aceh selama ini telah mengabaikan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai payung hukum perlindungan bagi jurnalis. Polda Aceh juga mengabaikan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/ DP/ 15/ II/ 2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers.
“Kami menyayangkan sikap kepolisian yang hingga saat ini tidak menghentikan proses hukum,” kata Sasmito menegaskan.
Dalam kasus kriminalisasi jurnalis Metro Aceh, Bahrul Walidin, Kata Sasmito seharusnya sejak awal pihak kepolisian mengarahkan diselesaikan menggunakan sengketa pers. Jika korban merasa dirugikan, jalur komplain yang digunakan adalah hak jawab/hak koreksi atau bahkan mengadukan ke Dewan Pers bukan diproses pidana.
Tercatat AJI Indonesia telah melayangkan surat kepada Dewan Pers agar segera membentuk Satuan Tugas Anti Kekerasan terhadap jurnalis Metro Aceh, Bahrul Walidin, Kamis 25 November 2021. Satgas ini diharapkan dapat mengawal penghentian kasus kriminalisasi terhadap Bahrul.
Bahrul dilaporkan ke Ditreskrimsus Polda Aceh pada 24 Agustus 2020 atas dugaan pencemaran nama baik terhadap Rizayanti, pimpinan PT. Imza Rizky Jaya Group sekaligus Ketua Partai Indonesia Terang. Ia dilaporkan menggunakan UU ITE, pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3.
Pelaporan itu terjadi setelah ia menulis berita berjudul Rizayati Dituding Wanita Penipu Ulung yang terbit di situs metroaceh.com pada 20 Agustus 2020, berita tersebut mengungkap tentang dugaan Rizayati melakukan penipuan uang terhadap ratusan orang.
Dewan Pers telah menangani sengketa pemberitaan kasus ini dengan menerbitkan pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR) nomor 41/PPR-DP/X 2020. Bahrul dan medianya juga telah melaksanakan rekomendasi Dewan Pers.
Namun, pada Selasa 28 September 2021, Bahrul justru menerima surat pemanggilan pemeriksaan melalui WhatsApp dari penyidik Ditreskrimsus Polda Aceh. Dari surat pemanggilan tersebut, diketahui kasus Bahrul Walidin telah dinaikkan dari penyelidikan menjadi penyidikan pada 26 Agustus 2021, dimana ia akan diperiksa dalam status sebagai saksi pada 30 September 2021. (*)