Beranda Indepth Sejarah Permukiman Tanah Rawa Pening, Dihuni Warga sebelum Indonesia Ada

Sejarah Permukiman Tanah Rawa Pening, Dihuni Warga sebelum Indonesia Ada

0

“Penduduk di sini, kampung ini, sudah ditempati sejak nenek moyang. Tanah di sini, tanah leluhur, yang perlu kami amankan, lestarikan. Dibuktikan mulai zaman Belanda,”

KAJI JATENG (Kolaborasi Jurnalis Investigasi Jawa Tengah)

Peta Rawa Pening tahun 1940
Peta Rawa Pening tahun 1940 (Dokumentasi Bogi Subasti)

Mata Kasiyan berkaca-kaca saat menunjuk patok kuning di pinggir jalan kampung RT 004/RW 006 Dusun Klurahan, Desa Tuntang, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang.

Patok itu bertuliskan “batas sempadan Danau Rawa Pening, milik negara, dilarang merusak.” Patok itu dipasang oleh orang-orang Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana dan tentara-tentara dari Kodam IV/Diponegoro.

Patok setinggi 40-an cm itu telah terpasang sejak 2021. Selama itu pula Kasiyan tak tenang. Jika ditarik garis lurus, rumahnya termasuk dalam batas patok tanah tersebut. 

Artinya, rumah yang ditempatinya sejak puluhan tahun lalu itu terancam hilang diambil negara, meski nyata-nyata ia memiliki bukti sertifikat kepemilikan tanah.

“Saya takut keberadaan patok itu nanti akan merampas tanah dan rumah yang telah menjadi hak milik saya selama bertahun-tahun, bahkan mungkin seratusan tahun sejak kakek saya tinggal di sini,” kata pria 65 tahun ini kepada Tim Kolaborasi pada Sabtu petang, 23 September 2023.

Kasiyan tak sendirian. Tanah dan rumah miliknya bukan satu-satunya yang masuk pengukuran patok itu. Tak hanya tanah pribadi, tanah kas desa dan tanah negara pun tak luput dari pematokan. Gambarannya, patok-patok itu dipasang melingkari Danau Rawa Pening.

Ia berkata warga sebenarnya tak mempermasalahkan revitalisasi Rawa Pening asalkan untuk mengatasi masalah sedimentasi danau. Namun, jika melihat ada pematokan seperti yang terjadi sekarang, proyek ini justru jadi perluasan alih-alih revitalisasi.

“Penduduk di sini, kampung ini, sudah ditempati sejak nenek moyang. Tanah di sini, tanah leluhur, yang perlu kami amankan, lestarikan. Dibuktikan mulai zaman Belanda,” katanya. 

“Sebelum ada Republik Indonesia, simbah kami sudah hidup di kampung ini,” tegasnya.

Hal senada diungkapkan Joko Susanto,  warga RT 1 RW 3 Baan, Kelurahan Asinan, Kecamatan Bawen. 

Tanahnya yang dipatok oleh tentara Kodam Diponegoro dan petugas dari BBWS Pemali-Juana  merupakan milik leluhurnya. Mereka sudah menempati perkampungan lebih dari 100 tahun. Maka, ia tidak terima saat dituding telah menyerobot “tanah negara”.

“Kami itu warga pribumi  jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, mereka tiba-tiba datang pasang patok, menuduh kami serobot tanah negara,” ujar Joko, yang juga Sekretaris Perhimpunan Petani Nelayan Rawa Pening.

Bogi Subasti, warga Banyubiru yang rumahnya di dekat Rawa Pening, menjelaskan bahwa desa di sekitar rawa sudah ada sejak sebelum era kolonial Hindia Belanda. 

Hal itu dibuktikan ada Candi Dukuh di sebuah bukit di pinggir Rawa Pening, tepatnya di Desa Rowoboni, Kecamatan Banyubiru. Ada yang menduga candi itu peninggalan Brawijaya V sebab ada yang menamai candi ini dengan nama Candi Brawijaya, katanya.

Melihat strukturnya, katanya, Candi Dukuh agaknya adalah candi Hindu yang mirip Candi Arjuna di Dieng, Candi Ngempon dan Candi Gedong Songo di Kab. Semarang. 

“Candinya berbentuk kotak, berukuran 5,8 m x 5,8 m menghadap ke Timur. Jika ditambah pelataran, ukurannya sekitar 5,8 m x 9 m. Candi ini terbuat dari batuan andesit. Diperkirakan dibangun pada abad ke-9 pada masa Dinasti Sanjaya Mataram Kuno,” terang Subasti.

Di Candi Dukuh itu terdapat relief Nandiswara yang digambarkan seperti mahadewa tapi hanya bertangan dua buah. Nandiswara berasal dari kata nandi, kendaraan Dewa Siwa dan Iswara, salah satu aspek Dewa Siwa. Terdapat juga Kala Kirtimukha, Makara, Lingga-Yoni. Di bagian puncak candi, terdapat stupa.

Catatan Arkeolog

Arkeolog asal Prancis, Veronique de Groot, dalam Candi, Space and Landscape: a Study on the Distribution, Orientation and Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains (2009), mencatat mengenai penelitian R.H.T. Friederich, arkeolog kolonial Belanda, yang menjelaskan terlihat samar-samar bekas tembok pembatas di dekat Candi Dukuh. Ia menduga jejak samar itu mirip tembok pembatas Candi Arjuna di dataran tinggi Dieng

“Beberapa arca yang ditemukan di sekitarnya antara lain satu Ganesa, seekor Banteng, tiga lingga, satu Agastya, satu yoni, dan satu Durgā,” tulis Verenique de Groot, mengutip tiga penelitian arkeolog Belanda, Friederich, Verbeek, dan Krom.

Di luar catatan arkeolog, keberadaan Candi Dukuh sempat dicatat pegawai kolonial Belanda dalam buku Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (1850).

Di buku itu ada catatan pengamatan kondisi kandungan air mineral di Tjandji Doekoeh, juga di sekelilingnya ditemukan sisa-sisa patung dan batu berornamen berasal dari zaman Brahmana, dengan dugaan mungkin para Brahmana mempunyai tempat pemandian di sana.

Terakhir, keberadaan Candi Dukuh sempat dicatat Raden Mas Arya Candranegara V, Bupati Kudus. Dalam buku edisi kedua berjudul Lampah-Lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana (1880), sang bupati mencatat salah satu perjalanannya saat mengunjungi sebuah perbukitan kecil bernama Candi Dukuh. Ia naik ke puncak bukit itu dan melihat sebuah makam tidak tertutupi. 

“Dari kesaksian penduduk setempat, makam itu merupakan makam Prabu Brawijaya, Raja Majapahit ke-3,” tulis laporan perjalanan tersebut.

Di tempat itu Candranegara V dapat melihat Rawa Pening secara keseluruhan dengan lebih jelas. Ia mengambil kesimpulan, dibandingkan disebut rawa, ia lebih sepakat menyebutnya telaga atau danau. Ini  karena lokasi Rawa Pening persis berada di tengah-tengah atau dihimpit gunung sekitarnya.

Cerita soal asal-usul Rawa Pening juga muncul dalam laporan arkeolog Belanda R.H. Th. Friederich saat meneliti sejarah Candi Gedong Songo

Dalam tulisannya, Rapport over reizen gedaan op java, Friederich mendapati cerita dari mantan lurah desa Nglaran, Kjahi Basar, bahwa tahun 118, yang menurut legenda terjadi banjir besar melanda Ambarawa yang dibawa oleh Dewa Wisnu, Rawa Pening dikatakan sebagai sisa-sisanya. Legenda ini mengisahkan banjir terjadi saat Radja Mangsapati Kerajaan India.

Saat masa kolonial Hindia Belanda, wilayah sekitar Rawa Pening merupakan tempat yang kerap dikunjungi pejabat pemerintah kolonial. Sepanjang abad 19, setidaknya dua pejabat penting pemerintahan kolonial menyempatkan kunjungan ke sekitar Rawa Pening. 

Pejabat pertama adalah Willem Frederik Hendrik, anak ketiga dari Raja Belanda Willem Frederik George Lodewijk. Saat kunjungan ke Hindia Belanda, ia menyempatkan melihat kondisi Rawa Pening pada 1837. 

Dalam laporan resmi yang ditulis Sekretaris Umum Pemerintahan Hindia Belanda, J.P.Cornels de Groot berjudul Overzigt der Reis in Nederlandsch Indie, zijne Koninklijke Hoogheid Prins Willem Frederik Hendrik der Nederlanden, Gedurende het jaar 1837, perjalanan anak raja Belanda itu mengunjungi dua tempat. Pertama ke Desa Asinan. Kedua, pergi untuk memberikan nama benteng militer di Ambarawa yang tengah dibangun dengan nama ayahnya, Willem II. Kedua tempat ini hanya berjarak beberapa meter dari Rawa Pening. 

“Di Assinan, sebuah tanah yang dimiliki Tuan P. H. de la Brethonière, yang saat itu termasuk dalam Karesidenan Surakarta tapi wilayahnya masuk dalam distrik Ambarawa, Willem Frederik Hendrik tinggal beberapa hari untuk mengunjungi tempat-tempat sekitarnya,” tulis laporan tersebut.

Kunjungan pejabat pemerintah kolonial selanjutnya adalah Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens pada 19 Juni 1838 yang dimuat dalam artikel berjudul De reis over java, in 1838 van den gouverneur generaal van Nederlandsch Indie yang tertuang dalam Tijdscrift voor Nederlandsch Indie: 21ste Jaargang, Eerste Deel

Kunjungan Gubernur Jenderal de Eerens mirip dengan perjalanan Willem Frederik Hendrik. Ia mengunjungi Desa Asinan untuk mampir ke rumah P. H. de la Brethonière. Laporan itu menjelaskan sawah di Desa Asinan, sebelah timur Rawa Pening, awalnya termasuk bagian Rawa Pening. 

“Nama Assinan berasal dari kata nassin yang berarti asin karena tanahnya mengandung garam. Adapun penamaan Rawa Pening berasal dari rawa, dan pening berasal dari kata bening, berarti jernih atau terang,” tulis laporan tersebut. 

Esok harinya, Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens menyempatkan datang ke pembangunan Benteng Willem I. Usai kunjungan itu, ia kembali beristirahat di Asinan dan esoknya meninggalkan wilayah tersebut untuk berkunjung ke Karesidenan Surakarta dengan melewati Sungai Tuntang, hulu dari Rawa Pening. 

Luas Rawa Pening

Kondisi luas Rawa Pening pada abad 19 dapat diketahui dari catatan Pieter Bleeker, seorang dokter dan ahli ikan Belanda, dalam artikel De Vallei van Ambarawa en de vesting willem I yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie: Jaargang 1850, Eerste Deel

Ia menulis perkiraan panjang dan lebar Rawa Pening 4.400 hasta. Jika dikonversi, 1 hasta setara 45 cm, maka luas Rawa Pening saat itu 392,04 ha.

Meski tak lengkap, kondisi Rawa Pening pernah ditulis A.J. van der A..A. dalam Nederlandsch Oost-Indie of Beschrijiving der Nederlanden Bezittingen in Oost Indie, voorafgegaan van een beknopt overzigt van de vestiging en uitbreiding der magt van nederland aldaar, deerde deel

Saat itu, Van der A.A menulis Rawa Pening memiliki panjang enam paal atau tiang, atau jika dikonversi setara 9,0414 km. Sayang, ia tidak menulis berapa lebar Rawa Pening sehingga tak diketahui pasti berapa luas Rawa Pening yang dilihatnya.

Catatan lain yang sedikit berbeda dari H.W. van Waeij, mantan serdadu Belanda, dalam artikel Aanslibbingen van Meeren, Moerassen, Poelen en de Zeekusten op Java yang dituang dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie: Vijfde Jaargang, Eerste Deel. 

Ia menulis keadaan Rawa Pening. Ia menghitung danau itu memiliki panjang 10 paal dan lebar 5 paal. Jika dikonversi, satu paal setara 1506,9 m, maka luas Rawa Pening berkisar 11,362 ha.

Ia juga mengingat pada 1822 saat menjabat kepala pertama satuan zeni, pernah mendapati kabar ada rencana pemerintah kolonial mengeringkan Rawa Pening. Namun, rencana ini ditunda sejak 1819 dan tidak terjadi. Satu-satunya yang dilakukan pemerintah kolonial saat itu mengalirkan air Rawa Pening melewati jembatan Tuntang hingga ke Sungai Demak.

Menjamurnya Eceng Gondok Dikira sebagai ‘Pulau’ 

Rawa Pening bukan tak punya daya tampung. Sering kali Rawa Pening meluap. Hal ini pernah tercatat dalam Aadrijkskundig woordenboek der Nederlanden volume 9 yang terbit tahun 1847. 

Pada 1838, sebagian wilayah Desa Rawa-Siwel yang saat itu masuk Distrik Salatiga, Karesidenan Semarang, tenggelam dan terendam limpasan air Rawa Pening. Beruntungnya, tidak ada korban jiwa dan hanya mengakibatkan kerugian berupa ternak milik warga yang hilang ditelan banjir. 

Bencana Rawa Pening berupa banjir saat itu tak bisa dilepaskan kondisi sedimentasi Rawa Pening. Saat itu penamaan tumbuhan eceng gondok belum terkenal. Banyak penduduk justru mengira muncul sebuah daratan di tengah Rawa Pening yang disebutnya sebuah pulau.

Keberadaan “pulau” itu juga pernah diamati Candranegara V. Saat mendekat, ternyata itu bukanlah pulau, melainkan hanya rerumputan dengan panjang tiga puluh kaki. Rerumputan itu terbentuk karena ada berbagai pohon kecil yang tumbang dan berkumpul menjadi satu tempat di rawa tersebut. 

Lama kelamaan di tempat pohon yang tumbang itu tumbuh rumput, dan pohon yang tumbang itu jadi hilang. Alhasil, yang tersisa hanya sebuah rumput yang tumbuh. 

Ia juga mendengar banyak orang meninggal di Rawa Pening saat menaiki perahu. Mereka meninggal karena dihantam ombak besar dan terhanyut. Cerita orang-orang yang selama ini dipercayai oleh orang-orang Belanda bahwa kedalaman Rawa Pening saat itu 200 depa. Banyak masyarakat desa yang malah mempercayai dalamnya hingga dasar bumi. 

Amatan Candranegara V atas “pulau” yang ada di Rawa Pening ternyata bukan tak diperhatikan pemerintahan kolonial saat itu. 

Asosiasi Kolonial Belanda di Amsterdam (Asssociatio Coloniale Nederlands a Amsterdam) dalam  Revue Coloniale Internasionale, mencatat bagaimana laporan A. Stoop, insinyur pertambangan, kepada Residen Semarang terkait asal-usul sebuah “pulau kecil” yang muncul di atas Rawa Pening pada 4-5 Februari 1885.

“Pulau itu terjadi karena pembusukan sisa-sisa tanaman yang ditemukan dalam jumlah besar di lapisan tanah bawah,” tulisnya. 

Hal ini menyebabkan berkembangnya berbagai macam gas. Gas-gas ini, karena tak dapat keluar melalui tanah yang kedap air, menerima pemuaian sedemikian rupa sehingga mampu mengangkat tanah hingga batas tertentu dan akhirnya lepas, membawa serta sebagian dari lahan gambut setengah cair.

Surat kabar De Millionen Voor Indies, terbit pada 10 Juli 1937, melaporkan pemerintah kolonial tak tinggal diam mengatasi sedimentasi Rawa Pening. Pada 1937, lantaran eceng gondok dianggap merugikan penduduk sekitar mencari ikan, ada pembersihan secara masif tanaman eceng gondok, yang saat itu disebut “sawah yang terapung”.

Di luar bencana air, kondisi Rawa Pening pernah mengalami bencana berupa gempa bumi. Buku Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (Volume 1) menulis gempa bumi terjadi selama dua kali, pada 1865 dan 1872.

Bedol Desa, Dampak Pembangunan PLTA Jelok

Memasuki tahun 1936, pemerintah kolonial Belanda melalui perusahaan ANIEM membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jelok.  Pembangunan ini selesai dua tahun. Untuk keperluan PLTA Jelok, pemerintah memutuskan bedol 30-an desa. 

“Dari gubuk paling sederhana hingga rumah besar dengan material batu yang untungnya rumah jenis terakhir ini hanya muncul secara sporadis, pemiliknya mendapat ganti rugi 5 hingga 600 gulden. Rata-rata masyarakat menerima 15-20 gulden,” tulis surat kabar De Locomotief, 8 Oktober 1937.

Dari data yang dihimpun Bogi Subasti sejak abad 19, dampak meluapnya Rawa Pening hingga kehadiran PLTA Jelok, setidaknya ada 50 desa yang dipaksa pindah.

Adapun desa yang tenggelam berada di selatan, barat, dan utara Danau Rawa Pening. Warga yang bedol desa mencari ke desa yang lebih aman. 

Rata-rata desa itu berada di pinggiran hilir sungai Kali Rengas, Panjang (Ambarawa), Kali Torong, Kali Galeh (perbatasan Ambarawa-Banyubiru), Kali Jungul, Kali Legi (Tegaron), Kali Muncul (Rowoboni), Kali Parat (perbatasan Muncul-Kali Glagah), Kali Sraten (Rowosari), Kali Kedung Ringis/Ringin (Candirejo). 

Hal itu karena debit air semakin meningkat dari area Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran.

Sementara di sebelah timur, desa-desa yang berada di tepi Rawa Pening tidak tenggelam hingga saat ini. Desa ini  di antaranya Desa Sangin Kesongo, Tegalombo (Tjelombo, Calombo), Klurahan, Cikal, dan Semurup.

Setelah ada PLTA Jelok, banyak data yang dihimpun menampilkan luas Rawa Pening secara berbeda-beda. 

Publikasi Binnenvisserij Indonesia 1941-1950 menulis luas Rawa Pening 1.700 ha saat air maksimum dan 1.500 ha  saat air minimum. 

Laporan Kementerian Penerangan dalam Propinsi Djawa Tengah tahun 1953 menulis luas Rawa Pening maksimum 2.000 ha dan luas Rawa Pening minimum 900 ha.

Beda lagi dengan Laporan Badan Pusat Statistik Kabupaten Semarang tahun 1983 yang mencatat luas Rawa Pening maksimum 2.020 ha dan luas Rawa Pening minimal 1.750 ha. 

Joko Susanto, warga Desa Asinan, berkata batas antara Rawa Pening dan batas pemukiman warga sebenarnya sudah jelas dengan keberadaan patok merah dan patok hitam yang dulu pernah diketahui warga sekitar. 

Patok batas merah itu dulu digunakan sebagai batas tanah yang dimiliki warga dan tanah yang dimiliki oleh pemerintah provinsi. Kemudian patok hitam itu merupakan batas air dari Rawa Pening. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here