Salah mengartikan prinsip ramahlingkungan
Pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa di Kota Semarang mengacu Perpres nomor 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi yang diklaim Ramah Lingkungan.
Hadirnya Perpres baru tersebut diketahui juga menghadirkan lima kota lain selain Semarang yang bergabung dalam proyek PLTSa, yakni Kota Tanggerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Denpasar, Kota Palembang, Kota Manado.
Namun senior Advisor Nexus3/Bali Fokus Foundation, Yuyun Ismawati Drwiega, menyebut Perpres nomor 35 tahun 2018 tak jauh beda dengan Perpres Nomor 18 tahun 2016 yang sebelumnya sempat dicabut setelah digugat ke Mahkamah Agung.
Yuyun bersama koalisi sebelumnya menolak Perpres Nomor 18 tahun 2016 yang dinilai bertentangan dengan Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Perpres tersebut tak ada bedanya dengan Perpres yang lama, hanya berganti wajah, seakan telah memasukkan kata ramah lingkungan. Sayangnya, prinsip ramah lingkungan tersebut diartikan dalam arti yang salah,” kata Yuyun.
Berita terkait : Dari Landfill Gas ke Insinerator, Rawan Korupsi dan Merugikan Negara
Minim Sosialisasi Dampaknya Mengancam
Menurut Yuyun dalam perpres tersebut masih ditemui studi kelayakan yang dipaksakan, tidak ada kejelasan studi AMDAL sebelum proyek dimulai dan lemahnya pemantauan dan penegakan hukum.