Beranda Indepth Peraturan tentang Produk Tembakau yang Telah Usang

Peraturan tentang Produk Tembakau yang Telah Usang

0

Peraturan itu dinilai lemah dan tak tegas terhadap iklan dan penjualan rokok yang terkait dengan anak. Tak mampu menghentikan jumlah anak perokok. 

Ilustrasi selamatkan anak dari asap rokok. (Abdul Arif/Serat.id)
Ilustrasi selamatkan anak dari asap rokok. (Abdul Arif/Serat.id)

Verdi, remaja  berusia 17 tahun warga  Kelurahan Jatibarang, Kecamatan Mijen, Kota Semarang masih ingat betul saat umurnya 14 tahun ketika duduk di kelas satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) pernah ketagihan merokok. Awalnya ia merokok karena merasa tertarik teman di sekitar rumahnya yang aktif merokok.

Akhirnya  ia mencoba membeli rokok eceran yang didapat secara mudah di toko kelontong sekitar rumahnya.  Harganya pun dianggapnya  cukup murah, Rp2 ribu per batang yang dibeli dari uang saku pemberian orangtuanya Rp10 ribu per hari.

“Sehari dulu, 2 sampai 4 batang merokok, cuma sampai tiga bulan saja. Kena marah bapak pas ketahuan,” ujar remaja yang kini duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA).

Sejak terkena marah orang tuanya. Ia tak lagi merokok, meski teman-temannya terkadang menawarinya untuk merokok. Pasalnya, dalam  hati keinginan untuk tak lagi merokok tersebut telah menjadi prinsipnya sejak lama.

Mudahnya Verdi saat itu membeli rokok menjadi bukti regulasi Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, dinilai telah usang untuk dapat menekan anak-dari ketergantungan rokok.

“Aturan itu tak lagi mampu menyelesaikan akar masalah dari penyebab perokok anak terus bermunculan,” kata Program Manager Yayasan Lentera Anak, Nahla Jovial Nisa.

Ia menduga peraturan pemerintah nomor 109 tahun 2012 yang memuat aturan  pelarangan penjualan rokok secara batangan maupun tak adanya pelarangan iklan rokok. Hal itu  menjadi penyebab munculnya  perokok anak secara masif.

Selain itu penegakan dalam aturan peraturan tersebut pun selama ini masih dinilai lemah, misalnya, ketika tak adanya sanksi untuk menjual rokok pada anak di bawah umur 18 tahun. 

“PP 109/2012 ini kan kebijakannya lintas sektor, kita melihat bahwa ini gak ada sanksi yang jelas untuk melarang kepada anak, siapa yang bertanggung jawab dan memberikan penegakan hukum,” ujar Nahla menjelaskan.

Nahla menyebut bertebarnya iklan rokok di sekitar sekolah seakan menunjukkan target pasar konsumsi rokok adalah anak. Promosi iklan rokok juga sengaja menggunakan subliminal advertising yang membuat anak melihat produk rokok seakan tak lagi berbahaya.  Justru sebaliknya, malah berjasa buat mereka.

“Iklan rokok menampilkan citra yang menarik bagi anak, padahal ini telah dilarang dalam PP 109 tahun 2012,” ujar Nahla menambahkan .

Menurut Nahla, jika pemerintah tak serius menanggulangi perokok anak, maka  proyeksi Bappenas yang menyebut pada 2030 jumlah perokok anak akan meningkat 15,9 persen atau 15,8 juta, akan menjadi kenyataan.

Pemerintah sebenarnya dapat belajar pada kebijakan pemerintah Thailand yang sukses menurunkan angka prevalensi perokok. Sejak kurun waktu 2000 hingga 2007, prevalensi perokok di Thailand telah menurun dari yang semula 37 persen menjadi 27 persen.

“Pemerintah tak bisa mengatur keluarga harus apa, sifatnya harus imbauan. Makanya peran negara menciptakan lingkungannya, “ ujarnya.

Ia merekomendasikan upaya menekan prevalensi perokok anak merevisi PP 109 tahun 2012, yang dapat memasukkan tentang pelarangan rokok dijual batangan, memperluas peringatan bahaya rokok menjadi 90 persen, pelarangan iklan secara total, serta penegakan atas sanksi .

Revisi ini seharusnya telah dilakukan sejak 2018 ketika Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 tahun 2018 dikeluarkan. Ia menyebut apabila revisi PP nomor 109 tahun 2012 telah disahkan dan penegakan dapat berjalan maka Perpres nomor 18 tahun 2020 tentang RPJMN 2024 akan turun menjadi 8,7 persen dapat tercapai.

Berita terkait: Perokok Anak Kota Semarang, Minim Penanganan di Lingkungan yang Rapuh

Tercatat Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mencatat jumlah prevalensi perokok anak usia 10 sampai 18 tahun menjadi 9,1 persen atau sekitar 3,2 juta. Angka ini meningkat 1,9 persen dari tahun 2013 sebesar 7,2 persen. Hal ini bertolakbelakang dengan target RPJMN 2014-2019, yang mengharuskan perokok anak turun menjadi 5,4 persen pada 2019.

Beda halnya dengan Riskesdas, data Pengendalian Tembakau di ASEAN mencatat lebih dari 30 persen atau 20 juta perokok anak berusia di bawah 10 tahun. Salah satu contoh perokok anak pada usia Balita ialah AR yang berusia 2,5 tahun.

Pada tahun 2010 AR bahkan menjadi headline pemberitaan internasional karena mampu menghabiskan empat puluh rokok batang sehari. AR tak sendiri, usia sepantarannya pada tahun 2018 masih ada RF, balita 2 tahun asal Sukabumi, lalu pada 2020 ada AB, balita 2,5 tahun asal Desa Terusan Jawa, Kecamatan Jejawi, Kabupaten Ogan Kemering Ilir.

Ketua Tobaccco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (TCSC-IAKMI), Sumarjati Arjoso menduga selama pandemi Covid-19 terjadi peningkatan  prevalensi perokok anak, sebab anak lebih sering terpapar dari iklan rokok dari gawai mereka dan juga pengawasan orangtua di rumah berkurang.

Anak tersebut, lantas akan memilih untuk nongkrong bersama teman sebayanya yang perokok aktif dan kemungkinan diajak juga untuk merokok. “Padahal data dari Rumah Sakit Persahabatan untuk mereka yang merokok angka kematiannya tinggi,” ujar Sumarjati.Padahal, kata Sumarjati, zat berbahaya dalam rokok seperti Tar dan benzene, bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan pertumbuhan kanker.

Terlebih pada kandungnan nikotin yang menyebabkan anak akan ketagihan, jika sehari tak mencobanya maka anak tersebut akan merasa lemas dan tak semangat dalam kesehariannya.

“Biasanya kalau anak-anak sudah merokok, dewasanya lebih cepat terkena kanker dan efek di anak anak langsung akan terkena asma dan ganguan paru, serta radang tenggorokan ,” katanya.

Ia menyebut revisi PP nomor 109 tahun 2012 segera mungkin memasukkan pengaturan rokok elektronik. Ia menuding terhambatnya revisi PP nomor 109 tahun 2012 selama ini karena tak 100 persen kementerian atau lembaga satu suara sepakat.

Masih ada dalih akan merugikan petani rokok, penjual rokok, tenaga kerja atau buruh industri rokok. Padahal ia tak melarang konsumsi rokok secara keseluruhan, hanya pada upaya penurunan prevalensi perokok anak dan remaja.

“Perokok anak dapat menghilangkan kualitas generasi emas Indonesia, ini berkebalikan dengan visi Presiden, SDM Unggul Indonesia Maju. Kalau sudah visi presiden,  maka harus didukung semua  pembantu presiden (Menteri),”ujarnya. 

Koordinator Komunikasi dan Advokasi Pengendalian Tembakua Center for Indonesia’s Strategic Development Iniatives (CISDI), Iman Mahaputra Zein, menyebut harga rokok yang dijual secara batangan dinilai menjadi salah satu faktor anak mudah untuk membeli rokok.  Hal itu menjadi alasan dia mengusulkan upaya menurunkan prevalensi perokok dengan menaikan harga pajak.

Berita terkait: Perokok Anak Kota Semarang, Minim Penanganan di Lingkungan yang Rapuh

“Harga rokok di Indonesia pada tahun 2018 berdasarkan riset dari Universitas Illinois Chicago (UIC) masih mendapat nilai 1,63, dari skala keseluruhan bernilai 5. Hal ini tak terlepas dari tak adanya perubahan kenaikan harga rokok sejak tahun 2012 hingga tahun 2018,” kata Iman.

Ia juga menyebut masih adanya iklan rokok disebabkan perlakuan tak adil atas penerapan undang-undang nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai.  Ia mencotohkan jika alkohol diatur dalam barang yang dikenai cukai telah dilarang dalam beriklan, namun rokok malah diistemawakan.

“Dari riset CISDI tahun 2019, kerugian negara itu ditaksir 27,7 triliun beban biaya kesehatan. Rinciannya BPJS itu ada sekitar 15,5 triliun akibat penyakit rokok, transportasi yang sakit dari rumah 3,6 triliun, dan beban biaya pribadi yang tak ditanggung pribadi 8,4 triliun, “ ujar Iman menjelaskan.

Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Netty Prasetiyani,  setuju adanya kebijakan perluasan bahaya iklan rokok menjadi 90 persen. ia mengacu riset yang menunjukkan seorang yang berhenti merokok karena mendapatkan gambar atau infomrasi yang menampilkan kanker mulut, kanker tenggorokan, kanker paru.

“Untuk  gambar peringatan rokok yang menampilkan perokok atau gambar ayah merokok sambil membawa anaknya itu tidak berdampak apa-apa,” kata Netty  dalam diskusi daring yang digelar AJI Jakarta bertajuk “Revisi PP Pengamanan Zat Adiktif: Prioritas Kesehatan vs Dalih Ekonomi,”  pertengahan 15 Juni silam.

Ia mengaku di komisi IX yang membidangi kesehatan banyak juga yang ngerokok, hal itu berpengaruh pada kekompakan yang sangat beragam. “Mungkin kalau dibawa pada kesadaran untuk melindungi anak Indonesia,mudah mudahan bisa sepakat (revisi PP),” ujar Netty.

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan revisi PP nomor 109/2012 memang akan terus diupayakan sebab itu akan menunjukkan keberpihakan pemerintah. Namun, ia menyebut perlu diupayakan cara lain untuk masuk dalam psikologi remaja yakni dengan cara membentuk gerakan sosial anti rokok yang berasal dari kalangan mereka

“Yang mengasih ceramah bukanlah orang tua,namun idola dari pemuda, mungkin Atta Halilintar,” kata Budi, saat diskusi Kampanye Berhenti Merokok yang digelar Asosiasi Dinas Kesehatan seluruh Indonesia, awal Juni 2021. Dengan cara itu, kata Budi, gerakan bebas asap rokok bisa menjadi menjadi bagian gaya hidup yang diharapkan mampu membangun anak muda merasa memiliki kesadaran bahaya merokok. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here