Beranda Indepth Perokok Anak Kota Semarang, Minim Penanganan di Lingkungan yang Rapuh

Perokok Anak Kota Semarang, Minim Penanganan di Lingkungan yang Rapuh

0

Lingkungan cenderung mendukung aktivitas anak yang dekat dengan rokok

Ilustrasi selamatkan anak dari asap rokok. (Abdul Arif/Serat.id)
Ilustrasi selamatkan anak dari asap rokok. (Abdul Arif/Serat.id)

Pandemi Covid-19, membuat Rudi (nama samaran), banyak mengonsumsi rokok  di sela membantu orang tuanya yang membuka bengkel mobil di rumahnya. Merokok  menjadi kebiasaan utama remaja 16 tahun di Kelurahan Panggung, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang tersebut jika merasa bosan atau di sela bekerja membantu sang ayah.

Sebelumnya kebiasaan buruk dia itu tepergok ibunya, Maryati yang menemukan sebungkus rokok di dalam lemarinya. Ia pun  mengelak untuk mengakuinya, namun beberapa waktu berikutnya ia mengakui kebiasaan merokok meski usianya belum dewasa.

“Beberapa bulan kemudian saya tanyakan lagi kenapa merokok dan menjawab sudah dewasa, lagian bapaknya juga merokok,“ ujar Maryati kepada serat.id.

Rudi, yang saat ini kelas 2 di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Semarang, merasa tak lagi canggung ketika mengonsumsi satu bungkus rokok berisi 12 batang, sehari seharga Rp18 ribu.

Pengeluaran rokok tersebut berasal dari pendapatan uang membantu ayahnya di bengkel Rp300 ribu  setiap pekan.

Kini Rudi mengaku merokok lebih tinggi dibanding saat masih kelas 1 SMK yang hanya menghabiskan dua batang rokok pada saat berangkat sekolah dan pulang sekolah.

“Kadang kalau pagi kalau dah pingin ngerokok di kamar mandi sekolah, dan ngerokok setelah pulang sekolah, sama temen-temen tongkrongan.  Beli satu bungkus rokok dulu Rp18 ribu dari uang saku Rp35 ribu, tapi tak langsung habis,” ujar Rudi.

Rudi tak sendirian menjadi perokok aktif di kampungnya, tak jauh dari kediamannya banyak remaja seusianya menjadi perokok aktif. Termasuk Seviro, remaja 21 tahun, warga sekitar rumah Rudi juga perokok aktif.

Seviro menyebut masih ada sekitar empat anak di lingkungan tinggal dia yang merokok tanpa sepengatuhan orang tuanya. Ia enggan mengadu ke orangtuanya, khawatir temannya dimarahi.

Berita terkait: Peraturan tentang Produk Tembakau yang Telah Usang

 “Biasanya rokok di luar seperti warung di dekat sekolah. Merokok dilakukan di luar kampung, karena tetangga gampang mergokin,” ujar Seviro.

Berbeda dengan Rudi, Adit, bukan nama sebenarnya, anak berusia sebelas tahun, yang tinggal di  Kelurahan Randusari, Kecamatan  Semarang Selatan itu lebih dini dalam merokok.

Anak yang baru masuk kelas 1 SMP itu awalnya mencoba merokok saat usianya berumur sembilan tahun atau saat kelas lima SD.

Saat itu, aktivitas merokok biasa dilakukan bersama teman-temannya di pemakaman umum tak jauh dari rumahnya. Setelah beberapa minggu merokok, Adit kerap tepergok oleh tetangganya dan  sempat mengadukannya kepada ayahnya. Namun, sekilas ucapan tetangganya tersebut dianggap sebagai angin lalu.

“Selang sepekan, kok malah hampir tiap hari tetangga sekitar melaporkan anak saya  merokok. Lantas, saya suruh dia pulang (dari main), tak panggil terus dia suruh napasnya saya cium, kok benar bau rokok, saya jengkel sekali , “ ujar Yudi orang tua Adit.

Yudi menyebut pengakuan anaknya rokok tersebut dibeli secara eceran per batang dengan uang saku yang diberikan setiap hari. Ia beberapa kali menanyakan Adit  berapa jumlah rokok yang dihabiskannya dalam seharinya, namun Adit enggan menjawabnya.

Sebagai pembelajaran, Adit pun didiamkannya dan tak diberi uang saku selama dua hari. Setelah merasa anaknya menyesal, ia pun juga meminta maaf  terhadap anaknya

“Meski bapaknya merokok, anaknya jangan merokok, karena buruk pada kesehatannya,” ujar Yudi menasehati.

Yudi memastikan Adit benar-benar jera dan enggan merokok. Adit  bisa jadi beruntung dapat bebas dari kecanduan merokok. Sebab, menurut Wiwik, warga sekitar, anak-anak belasan tahun masih memanfaatkan makam kampung untuk merokok.

“Mungkin yang tetangga dekat saja menasehati, kalau tak dekat cuek cuek saja. Ketua RT bebannya sudah kebanyakan. Tak ngurusi, kadang orang tuanya yang diadukan ada yang terima, ada yang tidak,” ujar Wiwik.

Fenomena anak merokok di Kota Semarang tak terdata secara jelas. Penelusuran serat.id menunjukkan Pemkot hanya mencatat anak perokok  pada tahun 2011. Hal itu mengacu catatan Dinas Kesehatan setempat yang menyebutkan angka perokok anak 10 tahun lalu sebesar 34,4 persen pada remaja putra.  Sedangkan remaja putri sebesar 4 persen.

Sedangkan data terbaru di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah menampilkan tahun 2019, yang mencatat perokok kategori usia 15 hingga 24 tahun berkisar 15,19 persen. Angka itu membuat Kota Semarang masuk dalam peringkat 30 di kabupaten dan  kota di Jawa Tengah.

Dosen Psikologi Universitas Diponegoro, Adi Dinardinata, menyebut salah satu penyebab perokok anak tergantung pada penerimaan  norma sosial deskriptif yang diterima anak. Jadi, jika kondisi mayoritas lingkungan anak, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pertemanan menganggap aktivitas merokok sebagai sebuah hal yang lazim, maka anak tersebut akan memutuskan untuk merokok, dan takut jika menolak akan dianggap tak normal.

“Apalagi masa remaja ketika relasi itu penting buat mereka, jadi kalau dia dikucilkan jadi lebih pedih, dari pada gak enak, dia mutusin buat nyicipin rokok yang gak enak, ” ujar Adi.

Adi menyebut norma sosial deskriptif bisa terjadi pada contoh lain ketika iklan rokok yang diterima anak terlampau sering. Hal ini disebut sebagai efek mere-exposure, yakni semakin sering seseorang melihat iklan rokok tersebut, maka yang semula bersikap membenci atau netral justru nantinya menyukai iklan rokok tersebut.

Sedangkan penyebab lain yang membuat anak jadi perokok aktif karena norma sosial injungtif yang diterima anaknya berupa ajakan dari lingkungan untuk merokok . Hal ini bisa terjadi, meski lingkungan keluarga anak tak ada yang merokok, namun ketika anak tersebut berada di lingkungan pertemanan  yang mengajaknya untuk mencoba merokok, maka dia bisa terbujuk untuk mencobanya.

“Anak bisa berhenti merokok, asalkan orang tua punya peran penting. Jadi kalau anak baik hubungan dan komunikasinya erat sama orang tuanya, maka  bisa membuat anak tidak merokok,” ujar Adi menjelaskan.

Abdul Mufid, Koordinator Komunitas Peduli Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Kota Semarang menyebut masih jamaknya perokok anak  di  Kota Semarang, tak lain disebabkan adanya kemudahan anak untuk membeli rokok dan iklan rokok yang masif bertebaran di jalan raya serta cermin lemahnya penegakan KTR.

Ia menilai untuk dapat menekan prevalensi perokok anak, maka diperlukan keseriusan  Pemerintah Kota Semarang, terlebih Kota Semarang sedang serius untuk naik peringkat menjadi Kota Layak Anak.  “Mestinya ada Peraturan Wali Kota  yang mengendalikan billboard rokok di Kota Semarang, kemudian ada larangan penjualan rokok batangan dan usia di bawah umur 18 tahun, serta larangan mendisplay rokok dalam penjualan,” ujarnya.

Berita terkait: Peraturan tentang Produk Tembakau yang Telah Usang

Kepala Seksi Partisipasi Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang , Bambang Teguh Murtiyono, menyebut untuk mencegah dan menanggulangi perokok anak, telah dilakukan usaha berupa sosialisasi kepada keluarga tentang pola asuh anak, berupa edukasi akan bahaya rokok di lingkungan keluarga.

Di lingkungan sekolah edukasi telah diberikan dengan menetapkan Sekolah Ramah Anak, status orang tua, guru, komite sekolah sama-sama sepakat membentuk lingkungan ramah anak, salah satunya bebas asap rokok.

“Pada tataran anak, kita juga membentuk Forum Anak Kota Semarang, Forum Anak Kecamatan, maupun Forum Anak Kelurahan, juga diadakan Bincang Online Bocah Semarang (B.O.B.S.), bincang-bincang yang digelar secara virtual untuk memberikan materi tentang perkembangan anak, seperti edukasi bahaya merokok  bagi anak,” ujar Bambang.

Ia menyebut Kota Semarang dalam kategori Kota Layak Anak,  masih dalam status Nindya atau kategori ketiga dalam lima peringkat di Kota Semarang. Masih terdapat dua kategori di atasnya  yakni Utama, dan tertinggi Kabupaten dan Kota Layak Anak.

Bambang mengakui salah satu indikator untuk dapat ditetapkan sebagai Kota Layak Anak, adanya pengaturan kuat atas iklan rokok.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Abdul Hakam, menyebut data prevalensi perokok anak di Kota Semarang belum ada yang terbaru. Sebab, perokok anak belum masuk menjadi permasalahan kesehatan yang disoroti di Kota Semarang.

Meski demikian, bukan berarti Kota Semarang lepas tangan terhadap perokok anak. Beberapa upaya yang dilakukannya untuk menanggulangi prevalensi perokok anak melalui  kegiatan promosi kesehatan masyarakat akan bahaya rokok.

Ia juga menyebut peran Puskesmas juga telah melakukan deteksi dini pada murid sekolah dengan metode ASSIST atau alcohol, smoking and substances involvement screening test, untuk mengetahui faktor risiko anak akan dampak merokok dan zat adiktif lainnya.

Serat.id  mencoba menanyakan kepada Wakil Ketua DPRD Kota Semarang,  Wahyu Liluk Winarto terkait adanya masukan untuk dapat dibuat Perwal tentang pengaturan iklan rokok di Kota Semarang. Ia mengamini dan setuju jika Perwal tersebut diusulkan.

Ia mengakui pengawasan atas penjualan rokok pada anak usia di bawah 18 tahun di Kota Semarang  tidaklah mudah. Namun ia meyakini Pemkot Semarang akan berusaha mengarah secara perlahan ke arah tersebut.

“Paling penting itu (nanti) penegakan Perda KTR, saya harap Pemkot Semarang ada sosialisasi sampai tingkat bawah,” ujarnya.  (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here