Beranda Kilas AJI Sebut Siaran Penyambutan Pelaku Kekerasan Abaikan Kepentingan Publik

AJI Sebut Siaran Penyambutan Pelaku Kekerasan Abaikan Kepentingan Publik

0

“Bukan malah sebaliknya, menyiarkan penyambutan secara meriah terhadap bebasnya pelaku kekerasan seksual,”

Ilustrasi, pixabay.com

Serat.id –   Aliansi Jurnalis Indpenden (AJI) Indonesia mendesak  seluruh lembaga penyiaran tidak mengulangi penayangan yang berisi kekerasan seksual maupun bernuansa menormalisasi perilaku pelaku kekerasan seksual. Lembaga penyiaran harus menghadirkan isi siaran yang mengedukasi tentang kesetaraan gender, melindungi korban kekerasan seksual, dan mengkritik kebijakan yang berpotensi menyuburkan kekerasan seksual.

“Bukan malah sebaliknya, menyiarkan penyambutan secara meriah terhadap bebasnya pelaku kekerasan seksual,” kata Ketua Bidang Penyiaran Lexy Rambadeta, dalam pernyataan yang diterima Serat.id, Kamis 9 September 2021. 

Baca juga :

Menurut Lexy, tayangan yang menormalisasi kekerasan seksual tersebut tentunya bukan kali pertama. Pada Juni 2021 lalu, salah satu televisi nasional juga menayangkan sinetron yang menampilkan cerita tentang istri ketiga yang masih di bawah umur. Sinetron tersebut melanggengkan dan memonetisasi praktik perkawinan anak. Hal itu menunjukkan lembaga penyiaran dinilai tidak memiliki empati pada korban dan justru menormalisasi perilaku kekerasan seksual.   

“Bidang Penyiaran AJI Indonesia menilai akar masalah dari dua tayangan tersebut adalah abainya lembaga penyiaran selama ini terhadap kepentingan publik dan hanya berorientasi untuk mencari keuntungan semata,” kata Lexy menjelaskan.

Padahal lembaga penyiaran beroperasi menggunakan frekuensi publik, halnya kekayaan alam Indonesia seperti hutan, tanah, mineral, laut, serta sumber daya alam lainnya, frekuensi publik dimiliki oleh publik. Sehingga sumber daya milik publik tersebut, harus dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan publik.

Adanya siaran yang menampilkan pelaku maupun konten poligami membuktikan Indonesia saat ini berada dalam situasi darurat kasus kekerasan seksual. Tayangan yang menormalisasi kekerasan seksual justru dapat melanggengkan tindakan tersebut di masyarakat.

“Selain itu, tayangan semacam ini dapat berdampak serius bagi psikologis dan masa depan para korban,” kata Lexy menegaskan.

Lexy meminta Komisi Penyiaran Indonesia tetap berkomitmen menjadikan kepentingan publik sebagai orientasi pertama dalam menyusun revisi SP3SPS, mencegah praktik buruk isi siaran, lebih aktif mengawasi dan  memberikan sanksi tegas pada lembaga penyiaran yang melanggar aspek kepentingan publik. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here