Beranda Indepth Cerita Penyandang Disabilitas Bekerja Tak Punya Sertifikat Profesi

Cerita Penyandang Disabilitas Bekerja Tak Punya Sertifikat Profesi

0
Ilustrasi sertifikasi profesi. (Abdul Arif/Serat.id)

Sudah lebih dari 16 bulan sejak bulan Maret 2020 hingga sekarang, Anita Anggraeni harus berjibaku lebih keras mencari pemasukan. Pandemi Covid-19 membuat Anita penyandang disabilitas tuli itu tidak leluasa bergerak untuk bekerja sebagai perias.

“Mencari konsumen dan bernegosiasi sangat susah karena ada pembatasan mobilitas. Seperti lainnya, ia pun harus menghindari kerumunan, menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang ketat, dan menjalankan protokol kesehatan agar tetap aman,” kata Anita belum lama ini.

Perempuan berusia 41 tahun asal Bawen, Kabupaten Semarang itu merasakan  pendapatan usahanya turun drastis hingga 70 persen. Apalagi saat PPKM darurat, banyak job yang dibatalkan . “Namun saya tetap berusaha. Jangan putus asa bersyukur,” ujar Anita menambahkan.

Lulusan D-3 Manajemen Informatika di Udinus Semarang itu menggeluti usaha di bidang make up artist. Ia meneruskan usaha ibunya yang telah ditekuni puluhan tahun. Untuk mempertajam kemampuannya ia  mengikuti workshop yang diselenggarakan oleh Lembaga Kursus Kecantikan Rudy Hadisuwarno di Semarang.

Anita juga mengikuti kursus di Balai Latihan Kerja selama 1 bulan secara gratis dan mempelajari ilmu tentang cara merias ala Solo Putri, Yogya Putri, Yogya Paes, cara pakem busana adat yang khusus untuk pernikahan.

Sebelum pandemi, promosi usahanya ini dilakukan dari mulut ke mulut dan hanya mengandalkan hubungan dengan relasi mamanya. Diakui beberapa dari konsumen pernah menanyakan tentang sertifikat yang diakui secara nasional atau internasional yang dimiliki. “Hanya sertifikat dari pelatihan yang saya ikuti,” ujar Anita menambahkan.

Ternyata segudang pengalaman dan pelatihan di bidang make up artist yang ia miliki  telah memupuskan harapan karena belum memiliki sertifikat tingkat nasional dan internasional.

Dia pun sangat ingin memiliki sertifikat kompetensi profesi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang bisa membantu menunjang karir profesional dan mendapatkan kepercayaan lebih tinggi lagi dari konsumen.

Tak hanya Anita,  Sahina, perempuan 41 tahun juga penyandang disabilitas tuli yang punya passion di bidang chef dan bakery juga kerepotan saat diminta menunjukkan sertifikat profesi sesuai yang ia geluti selama ini. Ia yang saat ini tinggal di kota Perth,  Australia sebenarnya ahli memasak dan membuat roti.

Bila ada waktu luang, dia menyibukkan diri dengan memasak makanan ala Barat atau Chinese food dan juga membuat cake ala hotel berbintang empat atau lima. “Saya sering mengunggah masakan atau roti yang saya buat, tapi bukan untuk promosi bisnis,” ujar Sahina.

Seiring dengan kemampuannya yang semakin berkembang, ia belum bisa menerapkan keahliannya untuk menjalankan usaha. Ibu satu anak harus mengurus keluarga dan kondisi fisiknya yang tidak boleh terlalu capek sehabis operasi kanker payudara pada tahun 2019.   Saat ini, ia bekerja paruh waktu sebagai cleaning service di kantor gereja.

Ia cukup beruntung mendapatkan kemudahan akses mendapatkan pekerjaan di Australia. Sahina tak harus repot mencari pekerjaan sendiri. Meski ada lembaga yang bernama National Disability Insurance Scheme ( NDIS ) sangat membantu memfasilitasi dia untuk melamar pekerjaan dengan bantuan JBI (Juru Bahasa Isyarat), sehingga tidak merepotkan orang lain.

Namun saat melamar bekerja ia pun ditanya tentang sertifikat keahlian yang memang tak dimiliki. Sahina lulusan SMALB Pangudi Luhur Jakarta, bidang Tata Boga itu merasa kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan.

Selama bekerja di toko pastry, dia mendapatkan penghasilan sebanyak 22 dolar per jam yang setara dengan Rp235 ribu . Dia menuturkan jika ingin bekerja di hotel, pelamar harus bisa menunjukkan keahliannya dengan bukti sertifikat saat berbincang dengan penulis dengan menggunakan bahasa isyarat.

Cerita dialami Anita dan Sahina juga dirasakan oleh Andrew Pratama Chandika. Pria berusia  34 tahun lulusan SMK Santa Maria Jurusan Tata Boga dan Diploma I Pariwisata di Universitas Trisakti Jakarta itu bekerja di hotel Dharmawangsa, bagian pemotong daging selama setahun dan dapur selama 3 tahun.

Di dalam dapur hotel tersebut, dia paham mengurus persiapan bahan utama seperti membuat mashed potato, sauce dan memanggang. Dia menceritakan bahwa ada beberapa level jabatan bagi yang bekerja di tempat hotel atau restoran mulai dari yang paling tinggi sampai paling rendah di antaranya: chef-executive, sous-chef, chef de partie, chef commis.

Ia mempunyai pengalaman yang cukup untuk profesi yang digelutinya. Tetapi ia belum mempunyai sertifikat kompetensi di bidang chef. Ia bahkan tak mengetahui ada sertifikat tersebut. “Wah menarik sekali, saya ingin tahu lebih banyak lagi soal ini agar lebih mudah mencari pekerjaan,” ujar Andrew.

Ketika masih bekerja di sebuah hotel berbintang di daerah Jakarta itu, ia memperoleh penghasilan sekitar Rp3 juta hingga Rp4 jutaan per bulan. Setelah tak kerja di hotel, dia pernah berjualan mie melalui online, dari mulut ke mulut.  Tetapi sekarang ia tak berjualan. Saat ini, dia bekerja di kantor gudang di airport Banten bagian pengiriman barang.

Kisah ketiga orang penyandang disabilitas hanya sebagian kecil potret kelompok yang kesulitan mendapatkan pekerjaan. Mereka cukup beruntung sudah mempunyai keterampilan meski belum diakui secara luas oleh publik atau berbagai lembaga.

Solusi kemudahan sertifkat profesi bagi penyandang disabilitas

Infografis cara daftar ujian serftifikasi profesi. (Abdul Arif/Serat.id)

Situs ILO dan data PUSDATIN dari Kementerian Sosial, menyebutkan pada 2019 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 28,62 juta orang atau 10,65 persen dari jumlah penduduk nasional. Di antaranya, terdapat 2,7 juta orang (9,6 persen) untuk disabilitas rungu dan wicara.

Data lainnya dari Kementerian Tenaga Kerja tercatat bahwa hanya sebesar 1,2 persen dari jumlah penyandang disabilitas yang terserap dalam lapangan pekerjaan.  Terlebih lagi  untuk tenaga kerja disabilitas tuli yang terserap tidak lebih dari 30 ribu orang.

Vendor Mizulife PB Amarthayasa, Elvina Yusni Srirejeki, yang bergerak di bidang jasa online melibatkan mitra disabilitas tuli, mengakui beberapa dari mitra pernah mengalami penolakan saat konsumen memesan jasanya ke Vendor Mizulife PB Amarthayasa.

”Apa karena saya tuli sehingga ditolak,” ujar Elvina menirukan mitra yang sedih dan mengalami penolakan itu saat berbincang dengan penulis melalui Google Meet Online Juli lalu.

Namun ia menjelaskan kepada mitranya  bahwa mereka tidak ditolak, tetapi konsumen berhak untuk memilih. Menurutnya agar disabilitas tuli bisa dapatkan pengakuan atas kemampuan dan bisa melakukan pekerjaan selayaknya orang normal, diperlukan sertifikat.

Elvina yang selama ini mengelola vendor layanan kebersihan, cuci mobil, servis AC dan  pijat, menjelaskan mitra disabilitas tuli merasa kesulitan untuk bekerja di tempat luar. Banyak sekali teman orang dengar yang menolak teman-teman tuli dengan alasan sulit berkomunikasi dengan mereka misalnya pada saat perawatan pijat, bagaimana cara mengkomunikasikan dengan konsumen mengenai tekanan pijatan kurang atau sudah cukup.

“Juga untuk jasa cuci mobil, konsumen merasa takut bagaimana kalau ada goresan pada mobil atau merasa kurang puas karena adanya miskomunikasi. Padahal mitra-mitra disabilitas tuli sudah kompeten dalam bidangnya dan nyatanya kualitas kerja mereka sangat bagus,” ujar Elvina menjelaskan.

Hal itu menjadikan ia tergerak hatinya memajukan mitra-mitra disabilitas tuli agar lebih mandiri, bisa lebih berdaya dan bisa setara dengan orang normal.  Apalagi banyak mitra dari vendornya yang berlatar belakang pendidikan rendah, hanya lulus dari SDLB/ SMPLB/ SMULB.

Elvina ingin mereka bisa mempunyai sertifikat. Dia pun mencari-cari lembaga sertifikasi yang mau menerima mereka. Dia berharap, dengan sertifikat, mereka bisa lebih percaya diri dalam bekerja melayani konsumen.

“Selain itu, konsumen bisa lebih percaya bahwa mitra-mitra tersebut terlatih dan benar-benar kompeten sesuai keahliannya,” katanya.

Tercatat saat ini sudah mulai banyak perusahaan memperkerjakan para disabilitas tuli, di antaranya  Deaf Café Fingertalk di Depok sekitar 10 orang dan di Poso 2 orang, Kurabu Ramen di Tangerang 3 orang dan Sebudi Kopi sekitar 1 orang, PT Protecda di Wonosobo sekitar 20 orang.

Elvina mengapresiasi perusahaan-perusahaan tersebut berani merekrut disabilitas tuli, walaupun sering menemui hambatan utama yaitu  komunikasi dengan mereka. Meskipun mempunyai kekurangan, mereka memiliki semangat bekerja yang begitu tinggi serta sikap rajin, teliti, dan fokus dalam bekerja.

Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Cohespa  di bidang kecantikan, Spa, Make Up Mayasari Tjahjono, siap mendukung disabilitas tuli untuk mengikuti sertifikasi kompetensi profesi. Ia   mengatakan tak ada batasan untuk siapapun mengikuti ujian sertifikasi kompetensi profesi.

“Kami siap memfasilitasi pelatihan daring untuk disabilitas tuli pemula dan profesional gratis dengan pendamping Juru Bahasa Isyarat. Bahkan termasuk biaya ujian sertifikasi yang sering memberatkan calon peserta,” kata Mayasari.

Menurut dia, disabilitas tuli bisa ikut ujian sertifikasi dengan cara mengikuti prosedur ujian asesmen yaitu ujian teori yang sudah disederhanakan sesuai kebutuhan asesi atau  peserta, ujian praktek, dan ujian lisan digantikan secara tertulis

Mayasari juga menegaskan dengan mengutip UU nomor 13 tahun 2003 pasal 18 tentang sertifikasi kompetensi kerja menyebutkan semua pekerja wajib memiliki sertifikat kompetensi tidak terkecuali untuk penyandang disabilitas.

“Sertifikat ini pun juga memberikan keuntungan kepada para calon pekerja atau usaha.Terbukti bahwa selama pandemi ini malah banyak orang non disabilitas atau orang dengar yang juga ikut mencari sertifikat karena banyak manfaatnya,” katanya.

Penulis: Junita S Herlambang, peserta Journalism Story Grant, yang diselenggarakan oleh British Council dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here