Beranda Kilas Majelis Rakyat Papua Apresiasi Laporan Ahli HAM PBB

Majelis Rakyat Papua Apresiasi Laporan Ahli HAM PBB

0

“MRP mengingatkan yang tewas di Papua itu adalah manusia, bukan hewan. Negara harus sungguh-sungguh menjawab pertanyaan PBB,”

Papua
Ilustrasi, konflik Papua/Jubi.co.id

Serat.id – Majelis Rakyat Papua atau MRP mengapresiasi laporan ahli HAM PBB dan mendesak negara selesaikan kasus pelanggaran HAM termasuk hentikan pemekaran wilayah di Papua. “Terima kasih kepada para ahli PBB yang menyurati pemerintah Indonesia terkait situasi pelanggaran HAM di Papua. Negara wajib menjawabnya, tidak boleh menyembunyikan apa yang terjadi di Papua,” kata Wakil Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait, dalam pernyataan resmi, Kamis, 10 Maret 2022.

Yole mengatakan pemerintah perlu memenuhi janji mengundang Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung Papua. Hal itu untuk menjawab pertanyaan masyarakat Papua. “MRP mengingatkan yang tewas di Papua itu adalah manusia, bukan hewan. Negara harus sungguh-sungguh menjawab pertanyaan PBB,” kata Yole menambahkan.

Menurut Yoel banyak kasus pelanggaran HAM di Papua tidak diselesaikan hingga pelaku tidak ada yang diadili, justru ada diantara pelaku justru mendapatkan posisi-posisi dan jabatan strategis. Sedangkan Presiden Joko Widodo sudah 11 kali ke Papua, tetapi tidak pernah menemui DPR Papua dan MRP Papua.

Padahal MRP adalah honai atau rumah Papua sebagai representasi kultural orang asli Papua. Sedangkan saat ini muncul soal baru. Namun sayangnya pesan Presiden untuk Papua diterjemahkan oleh beberapa Menteri melalui pemekaran wilayah berdasarkan UU Otsus baru yang bermasalah.

“Tanpa konsultasi dengan rakyat Papua. UU ini mengabaikan mekanisme yang ditetapkan oleh Pasal 77 UU Otsus yang mewajibkan adanya konsultasi dengan rakyat di Papua,” kata Yoel menjelaskan.

Ia mengutip naskah akademik serta perubahan UU hanya terhadap Pasal 76 soal pemekaran wilayah dan Pasal 34 perihal keuangan daerah yang ia pertanyakan. Selain itu rakyat Papua yang bersikap kritis, justru dituduh separatis, atau teroris.

Sedangkan pelanggaran HAM di Papua terus terjadi karena negara tidak menjalankan Otonomi Khusus Papua secara konsekuen. Salah satunya itu terjadi karena konflik dua regulasi  UU Otonomi Khusus dan UU Otonomi Daerah.

“Sayangnya, para walikota dan bupati kebanyakan hanya melaksanakan UU Otonomi Daerah, tidak kepada UU Otsus. MRP menilai seharusnya UU Otsus terkait Papua dikonsultasikan dengan rakyat Papua,” katanya. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here