Beranda Kilas Pegiat Perempuan Apresiasi Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus

Pegiat Perempuan Apresiasi Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus

0

Munculnya kontroversi karena persepsi yang dilandaskan pada prasangka negatif pada muatan peraturan itu dinilai lebih menekankan pada upaya pencegahan serta penanganan yang tepat oleh pihak kampus, bukan untuk pelegalan zina atau seks bebas sebagaimana dituduhkan.

pelecehan seksual
Ilustrasi, pxabay.com

Serat.id –  Direktur Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Defirentia Muharomah mendukung Permendikbud Ristek nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.  Peratuaran menteri itu  dinilai inisiatif yang menunjukkan kemajuan serta komitmen pemerintah dalam menciptakan ruang aman sekaligus menghadirkan perlindungan di lingkungan perguruan tinggi.

“Peraturan itu juga menjadi langkah strategis untuk menghadirkan tanggung jawab serta peran institusi dalam upaya pencegahan serta penindakan kasus kekerasan seksual yang masih banyak terjadi di lingkungan perguruan tinggi,” kata Defirentia Muharomah, dalam pernytaan, Kamis, 11 Novemeber 2021

Moharomah menyebutkan dalam 5 tahun terakhir, tepatnya tahun 2016  hingga  2020, Rifka Annisa mendampingi sebanyak 267 kasus kekerasan seksual dengan rincian 140 kasus perkosaan dan 127 kasus pelecehan seksual. “Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 130 kasus korbannya merupakan mahasiswa,” kata Muharomah menambahkan.

Ia menjelaskan mahasiswa yang mengadukan kasus kekerasan seksual semakin meningkat. Dari kajian yang dilakukan Rifka Annisa, terdata bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap mahasiswa berasal dari kampus yang sama dengan korban maupun dari kampus yang berbeda. Profil pelaku antara lain dosen, staf, karyawan kampus, teman, pacar, atau orang yang tidak dikenal.

Sedangkan hasil pengamatan lembaganya menunukkan maraknya kasus kekerasan seksual tak justru masih masih terdapat institusi pendidikan tinggi yang belum kooperatif dalam menindak tegas pelaku maupun memberikan perlindungan bagi korban.

Situasi tersebut menjadikan korban seringkali diam karena khawatir ketika mengadukan kasusnya akan mengancam posisinya lantaran dianggap mencemarkan nama baik kampus. Dalam merespon kasus pun masih ada stigma, victim blaming, dan prasangka negatif terhadap korban.

”Akibatnya, kasus-kasus kekerasan seksual cenderung ditutupi, korban mengalami trauma dan depresi karena menanggung beban masalah sendiri,” kata Muharomah menjelaskan.

Dengan mempertimbangkan kegentingan tersebut, hadirnya peraturan ini dapat mendukung dan menguatkan kembali peran dan tanggung jawab institusi perguruan tinggi untuk menciptakan ruang aman bagi civitas akademik.

Hal itu dinilai sangat penting, karena isi peraturan menteri mendekatkan layanan[1]layanan bagi korban kekerasan seksual di kampus dengan membentuk pusat krisis, menyusun mekanisme/panduan layanan, maupun membentuk tim satuan tugas sebagai support system bagi korban.

“Dengan adanya mekanisme yang jelas terkait layanan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, semua pihak khususnya korban akan merasa aman dan mendapat dukungan ketika mengadukan kasus kekerasan seksual yang terjadi,” kata Muharomah menegaskan.

Sedangkan kontroversi muncul karena persepsi yang dilandaskan pada prasangka negatif pada muatan peraturan itu dinilai lebih menekankan pada upaya pencegahan serta penanganan yang tepat oleh pihak kampus, bukan untuk pelegalan zina atau seks bebas sebagaimana dituduhkan.

“Faktanya, selama ini banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindak sebagaimana mestinya lantaran terdapat prasangka negatif terhadap korban,” katanya. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here