Beranda Kilas Judicial Review Pasal 40 ayat 2b UU ITE, Ini Penjelasan Koalisi Masyarakat...

Judicial Review Pasal 40 ayat 2b UU ITE, Ini Penjelasan Koalisi Masyarakat Sipil

0

Mendesak pemerintah menjalankan kewenangan, khususnya terkait pemutusan akses elektronik sesuai dengan due process of law dan menghormati hak setiap orang atas informasi.

sanksi hukuman
Ilustrasi, pixabay.com

Serat.id  –  Koalisi Masyarakat Sipil  sebagai pemohon judicial review pemutusan akses elektronik dalam UU ITE, berharap majelis hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan permohonan seluruhnya. Harapan itu demi terselenggaranya penikmatan atas hak asasi manusia, khususnya hak setiap orang atas informasi dalam ruang digital.

“Serta sebagai bentuk pengawasan atas kewenangan yang dimiliki Pemerintah dalam memutus akses elektronik,” tulis  pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil, Selasa, 26 Oktober 2021.

Koalisi mendesak pemerintah menjalankan kewenangan, khususnya terkait pemutusan akses elektronik sesuai dengan due process of law dan menghormati hak setiap orang atas informasi. “Pemerintah senantiasa menghormati hak setiap orang atas informasi khususnya dalam ranah digital, sebagai pemangku tanggung jawab atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM,’ tulis pernytaan itu lebih lanjut.

Tercatat koalisi masyarakat sipil  sebagai pemohon judicial review terdiri AJI, ICJR, LBH Pers, YLBHI, KontraS, ELSAM, Yayasan Satu Keadilan dan SafeNET mengajukan Judicial Review pasal 40 ayat 2b Undang – Undang ITE terkait kewenangan Pemerintah memutus internet.

Kuasa Hukum Para Pemohon telah melengkapi dokumen kesimpulan permohonan pada tanggal 31 Agustus 2021.  Permohonan pengujian norma pasal 40 ayat 2b UU ITE ini berasal dari kekhawatiran masyarakat sipil terkait kewenangan pemerintah memutus akses internet tanpa diiringi dengan mekanisme pembatasan yang jelas.

Dalam permohonannya, salah satu pemohon Arnoldus Belau bagian petitumnya meminta pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan meminta Pemerintah untuk diwajibkan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) secara tertulis sebelum melakukan kewenangannya tersebut.

Karena ketidakjelasan norma dalam Pasal 40 ayat 2b UU ITE terletak pada pendefinisian dari “informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum” dalam UU ITE tidak jelas batasannya. Informasi.

“Tidak jelasnya kriteria yang dimaksud dalam ketentuan tersebut, memunculkan potensi multitafsir,” kata salah satu pemohon, Arnoldus Belau.

Meski dalam peraturan turunannya yaitu Permenkominfo 5 Tahun 2020 mengatur klasifikasi informasi atau dokumen elektronik yang dilarang, namun batasan yang diberikan tetaplah tidak jelas, salah satu kriteria yang diatur adalah informasi yang meresahkan masyarakat.

Hal  itu dinilai membuat pihak yang diberikan kewenangan untuk memutus akses, yaitu Pemerintah dapat mendefinisikan secara sepihak terkait informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.

“Ini berpotensi adanya kesewenang – wenangan mengingat prasyarat pemutusan adalah adanya informasi dan/atau dokumen elektronik yang dinilai bermuatan melanggar hukum,” kata belau menjelaskan.

Selain itu proses pemutusan akses elektronik dalam pasal yang diuji tidak atur secara jelas dalam ketentuan tersebut. Walaupun dalam Permenkominfo 5 Tahun 2020 diatur mengenai mekanisme awal prapemutusan yang mana Pemerintah memerintahkan kepada pihak pengguna untuk segera melakukan takedown jika ditemukan informasi elektronik yang melanggar hukum, namun perintah tersebut tidak dibingkai dalam sebuah format yang tegas dan jelas.

Pasal 40 ayat 2b juga tidak secara tegas mengatur batasan jangkauan pemutusan yang dapat dilakukan. Seharusnya pemutusan akses hanya terbatas pada sebuah konten secara spesifik, bukanlah keseluruhan akses atau bahkan keseluruhan infrastruktur internet.

Ketidakjelasan norma pasal tersebut masih membuka adanya peluang pemutusan akses melebihi pada tataran konten sebagaimana dimaksud tersebut. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here