Beranda Kilas Ini Sejumlah Daftar Pasal Bermasalah Dalam UU ITE

Ini Sejumlah Daftar Pasal Bermasalah Dalam UU ITE

0

Daftar masalah yang diserahkan pada Jumat, 28 Januari 2022 kemarin itu merupakan hasil kajian anggota koalisi dan melibatkan analisa pakar linguistik forensik dan pakar hukum pidana, atas pasal-pasal revisi dan pasal-pasal tambahan yang diusulkan pemerintah kepada DPR RI.

Ilustrasi, pixabay.com

Serat.id –  Koalisi Serius Revisi undang-undang informasi tekhnologi elektronik (ITE), terdiri dari organisasi masyarakat sipil menyerahkan daftar invenstarisir masalah yang tekandung dalam Undang-undang itu ke DPR Ri di Senayan Jakarta.

Daftar masalah yang diserahkan pada Jumat, 28 Januari 2022 kemarin itu merupakan hasil kajian anggota koalisi dan melibatkan analisa pakar linguistik forensik dan pakar hukum pidana, atas pasal-pasal revisi dan pasal-pasal tambahan yang diusulkan pemerintah kepada DPR RI.

“Secara umum koalisi menilai draft revisi UU ITE perbaikan kedua yang diusulkan pemerintah masih mempertahankan pasal-pasal yang bermasalah dan menambah sejumlah pasal baru yang berpotensi mengancam hak konstitusional warga,” kata juru bicara Koalisi Serius Revisi UU ITE,  Damar Juniarto, Sabtu, 29 Januari 2022.

Koalisi menilai dalam draft revisi UU ITE perbaikan kedua ini memiliki banyak kelemahan yang fundamental, terutama masih adanya pasal-pasal yang multitafsir dan penerapan hukum pidana yang berlebihan.

Sejumlah pasal yang masih dipertahankan Pemerintah adalah pasal kesusilaan (pasal 27 ayat 1), perjudian (pasal 27 ayat 2), pencemaran nama (pasal 27 ayat 3), pengancaman (pasal 27 ayat 4), berita bohong yang menimbulkan kerugian konsumen (pasal 28 ayat 1 dan 2), ujaran kebencian atas dasar SARA (pasal 28A ayat 1 dan 2), pengancaman (pasal 29), pemberatan perbuatan pada pasal 30 sampai 34 (pasal 36).

Sedangkan norma baru yang dimasukkan pemerintah adalah pasal yang mengatur tentang pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran (pasal 28A ayat 3). Melalui DIM ini koalisi memberikan masukan perbaikan secara menyeluruh atas isi UU ITE, tidak terbatas pada revisi pasal-pasal yang diusulkan pemerintah semata.

Ada 29 poin masukan yang disusun oleh koalisi, terdiri dari 2 poin masukan pada bagian pertimbangan, 1 poin pada bagian mengingat, dan 26 poin pada pasal-pasal UU ITE. “Baik dari naskah revisi yang dikirimkan pemerintah maupun pasal-pasal yang telah lama ada dalam UU ITE Tahun 2016 yang perlu untuk diperbaiki,” kata Damar menambahkan.

Koalisi menyoroti fakta tidak berubahnya perspektif pemerintah dalam upayanya mendekati persoalan yang muncul dalam ranah digital. Perspektif yang digunakan masih punitive karena dalam rumusan perbuatan yang dilarang tidak ada asas restorative justice dan diversi (penal mediation) dalam penyelesaian dugaan tindak pidana ITE.

Ia juga menyingung adanya pidana adalah ultimum remedium, upaya akhir yang harus apabila tidak ditemukan jalan keluar penyelesaian perkara antara pelaku dan korban.  Padahal, menurut Damar, seharusnya mekanisme ini dimasukkan dalam revisi UU ITE agar penyelesaian perkara dugaan tindak pidana ITE ini dimungkinkan diselesaikan antara pelaku dan korban.

Apalagi dorongan restorative justice menguat pada isi Surat Kesepakatan Bersama tiga lembaga antara Kepolisian, Kejaksaan, Kominfo, serta dalam Surat Edaran Kapolri sebelumnya. Begitu juga dengan mekanisme banding yang seharusnya ikut dimuat dalam revisi UU ITE ini.

Koalisi juga mencermati dalam draft revisi ini Pemerintah tidak menggunakan kesempatan untuk memperbaiki keseluruhan isi UU ITE yang bermasalah dan hanya mendasarkan perubahan-perubahan atas banyaknya kontroversi yang terjadi.

“Dalam kacamata koalisi, perbaikan yang dilandaskan hanya pada yang ramai kontroversi ini bukanlah perbuatan yang bijak dan holistik dalam melihat persoalan,” katanya.

Koalisi meminta DPR RI benar-benar melakukan kajian atas revisi tersebut secara hati-hati dan menyeluruh, dan bisa menggunakan DIM yang dikirimkan koalisi sebagai bahan acuan dalam mempertimbangkan, memperbaiki, dan merumuskan bunyi pasal pengaturan yang lebih baik dan tepat, sehingga persoalan-persoalan multitafsir dan pemidanaan berlebihan tidak terjadi lagi di masa mendatang. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here